Edelweis pagi ini masih menyapa bangun tidurku. Wanginya
masih sama meski sudah lama dan kering. Tidurku yang hanya sekejap seolah
memberi energi lebih untuk bisa membuat semesta berkomplot mendukung aku dari
belakang. Bulir-bulir darah yang aku rasakan dari setiap denyut jantung
memompa, aku coba nikmati dan resapi. Sensasi begitu menakjubkan ketika aku
memulai menikmatinya.
Pagi ini ada edelweis yang aku bawa pergi menuju
kawah gunung berapi. Letupan-letupan yang mencoba membakar aku, aku tak peduli.
Selesai hingga edelweis itu aku lepaskan pada seorang kawan perjalanan. Berharap
bertemu edelweis lain di jalur pulang ke rumah.
Aku singgah di sebuah pondok tempat semua orang
tertawa. Meski tidak tertawa aku terjebak dalam gundah yang sudah sedemikian
menggunung di kepalaku, oh tidak, di hatiku. Kuntum-kuntum itu belum mekar
juga. Aku tidak mengerti. Kadang saat halilintar melewatiku begitu cepat aku
tidak tahu satu detik itu begitu lama. Keringat bercucuran entah di mana
muaranya.
Satu sabda alam akhirnya muncul, aku bergerak
mengikuti suara-suara gemerisik daun yang telah lama ku genggam ini. Akhirnya aku
bertemu dengan edelweis yang lain. Di depan ku sederhana. Di depan ku pondok
tempat tertawa. Aku genggam dan aku rasakan hembus angin yang sangat di luar
perkiraanku. Begitu sejuk. Meleleh dan tak bisa ku lanjutkan darah untuk
mengaliri hidupku. Rasanya rohku ingin lepas berlari dan menari bersama
bidadari.
Belum bisa ku petik edelweis ini sampai benar aku
yakin bisa ku gapai dari tepi jurang ini. Hujan turun. Namun bukan sebuah
petaka melainkan jadi lagu latar aku merenungi ini. Kombinasi terbaik siang
hari ini. Harus aku sanggup bertahan di atas segala ini, menanti edelweis yang
cantik ini di tempat sedingin ini. Dingin dalam nuansa. Semesta dan aku. Edelweis
dan hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar