Kamis, 29 Maret 2012

Edelweis dan Hujan


Edelweis pagi ini masih menyapa bangun tidurku. Wanginya masih sama meski sudah lama dan kering. Tidurku yang hanya sekejap seolah memberi energi lebih untuk bisa membuat semesta berkomplot mendukung aku dari belakang. Bulir-bulir darah yang aku rasakan dari setiap denyut jantung memompa, aku coba nikmati dan resapi. Sensasi begitu menakjubkan ketika aku memulai menikmatinya.
Pagi ini ada edelweis yang aku bawa pergi menuju kawah gunung berapi. Letupan-letupan yang mencoba membakar aku, aku tak peduli. Selesai hingga edelweis itu aku lepaskan pada seorang kawan perjalanan. Berharap bertemu edelweis lain di jalur pulang ke rumah.
Aku singgah di sebuah pondok tempat semua orang tertawa. Meski tidak tertawa aku terjebak dalam gundah yang sudah sedemikian menggunung di kepalaku, oh tidak, di hatiku. Kuntum-kuntum itu belum mekar juga. Aku tidak mengerti. Kadang saat halilintar melewatiku begitu cepat aku tidak tahu satu detik itu begitu lama. Keringat bercucuran entah di mana muaranya.
Satu sabda alam akhirnya muncul, aku bergerak mengikuti suara-suara gemerisik daun yang telah lama ku genggam ini. Akhirnya aku bertemu dengan edelweis yang lain. Di depan ku sederhana. Di depan ku pondok tempat tertawa. Aku genggam dan aku rasakan hembus angin yang sangat di luar perkiraanku. Begitu sejuk. Meleleh dan tak bisa ku lanjutkan darah untuk mengaliri hidupku. Rasanya rohku ingin lepas berlari dan menari bersama bidadari.
Belum bisa ku petik edelweis ini sampai benar aku yakin bisa ku gapai dari tepi jurang ini. Hujan turun. Namun bukan sebuah petaka melainkan jadi lagu latar aku merenungi ini. Kombinasi terbaik siang hari ini. Harus aku sanggup bertahan di atas segala ini, menanti edelweis yang cantik ini di tempat sedingin ini. Dingin dalam nuansa. Semesta dan aku. Edelweis dan hujan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar