Rabu, 21 November 2012

Catatan Perjalanan Tangkuban Parahu 31 Oktober 2012


Sebenernya masih punya hutang lanjutan catper burangrang tapi masih belum beres-beres juga. Ya catper tangkuban parahu ini meski ga ada fotonya karena masih ditahan sama teman-teman yang lain, saya luncurkan mumpung masih hangat di pikiran.
Setelah beberapa kali merencanakan hiking bersama anak-anak kampus dari Bandung, akhirnya tanggal 31 Oktober 2012 terjadilah acara tersebut. Adalah saya, Sukma, Machdar dan Eka menjadi peserta hiking ceria ini. Fabian medadak tidak bisa ikut karena kesehatannya drop akibat semalam hujan-hujanan. Sementara Dede sepertinya masih belum sehat juga.
Tujuan hiking kami adalah Gunung Tangkuban Parahu. Sebuah gunung di kawasan Bandung Utara yang tidak terlalu tinggi sekitar 2087 mdpl. Bahkan untuk bisa mengakses ke kawah yang berada di puncak gunung tersebut kita dapat menggunakan kendaraan mulai dari sepeda sampai bis sekalipun. Tapi kami berempat menggunakan cara yang berbeda dari segala kemudahan tersebut. Kami mendaki dengan berjalan kaki menembus hutan Jayagiri yang berada di kaki gunung.
Perjalanan ini dimulai setelah sebelumnya kami bersepakat untuk pergi bersama dari rumah Sukma di kawasan Sarijadi. Namun, saya memutuskan untuk ngangkot dari rumah langsung ke gerbang Jayagiri. Ternyata terjadi miss-communication, saya kira mereka akan ngangkot juga dari rumah Sukma tapi nyatanya mereka menggunakan sepeda motor. Kalau saya tahu itu setidaknya saya bisa berhemat ongkos dan waktu tempuh ke gerbang Jayagiri.
Rumah saya yang terletak di kawasan Sudirman-Cibeureum atau yang biasa orang sebut Batas Kota (fyi hal ini disebabkan seberang rumah saya adalah kota Cimahi dan rumah saya masuk kota Bandung). Karena rencana awal kumpul pukul 06:00 di rumah Sukma, saya berangkat pukul 06:30 dari rumah menggunakan angkot Cijerah-Sederhana dan berhenti di depan Istana Plaza. Sekalian nostalgia dengan angkot yang sewaktu SD mengantar saya pergi sekolah sebelum perannya digantikan oleh bis kota DAMRI. Ternyata jalan yang saya lalui lumayan terkena macet sampai di kawasan Halteu Utara. Lewat perlintasan rel kereta api, jalanan menjadi lancar jaya kembali. Di depan Istana Plaza ternyata angkot yang saya tumpangi berbalik arah dan menurunkan saya. Supirnya meminta saya naik angkot lain saya, padahal saya memang akan turun di situ. Alhasil ketika saya turun dan akan membayar, angkot tersebut malah maju dan meninggalkan saya tanpa sempat membayar. Alhamdulillah.
Tak lama, saat itu juga saya pindah angkot dengan jurusan Stasion – Lembang. Angkot L300 ini kosong tanpa penumpang dan saya jadi yang pertama. Mobil melaju dengan santai sambil lambat laun menaikkan penumpang. Rata-rata penumpang turun di Terminal Ledeng. Dari Ledeng hanya ada 3 orang yang tujuannya sama-sama ke Lembang. Tak begitu lama, Pukul 8:00 kurang saya sudah tiba di mulut jalan Jayagiri. Saya mengirim pesan kepada Sukma karena tidak saya lihat batang hidung teman-taman saya. Yang ada Cuma beberapa tukang ojek yang sedang mengobrol. Sukma pun membalas jika dia dan yang lain sudah ada di gerbang masuk hutan Jayagiri. Sayapun melenggang berjalan kaki ke arah tempat yang dimaksud.
 Sekitar 15 menit saya sudah bertemu mereka sedang duduk santai di depan gerbang. Tanpa banyak basa-basi kami langsung masuk ke gerbang dan menghampiri pos polisi hutan untuk melapor. Ternyata pos tersebut kosong. Kami pun masuk. Tak jauh dari situ terdapat warung dan ternyata Pak Polisi Hutan sedang nyuruput kopi di situ. Kamipun melapor dan mebayar uang masuk sebesar Rp 20.000 untuk 4 orang. Perjalanan pun dimulai. Kami disuguhkan jalan setapak tanah dengan pemandangan hutan pinus di kiri dan kanan kami. Kami berjalan sambil ngobrol ngaler ngidul. Tak lama sekitar 30-45 menit kami sudah sampai di tempat persimpangan dengan jalur trek motor trail. Beristirahat kami di warung-warung kosong yang memang tidak buka karena masih weekday. Beristirahat sebentar kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan yang diperkirakan akan sampai ke tempat parkir Taman Wisata Alam (TWA) Tangkuban Parahu pada pukul 13:30.
Beberapa meter dari tempat kami istirahat tadi kami menemukan jalan bercabang. Dengan pengalaman 7 kalinya Machdar, kami bergerak ke arah kanan. Terus berjalan hingga ada persimpangan lagi. Tak jauh dari persimpangan tadi ada 2 orang tentara yang sedang berjalan juga. Mereka berjalan ke arah kanan kami. Kami sempat akan mengikuti mereka tapi niat tersebut kami urungkan dan bergerak ke arah kiri atau asal kedua tentara tadi datang. Setelah beberapa saat berjalan, Machdar dan Sukma merasa jika kami salah jalan. Karena tanggung kami tetap melanjutkan perjalanan mengikuti jalan setapak tersebut. Sampailah kami di jalanan beraspal menuju TWA Tangkuban Parahu. Kami beristirahat lagi di dekat jalanan beraspal tersebut karena pemandangannya yang cukup bagus. Sambil istirahat kami main poker satu game saja.
Setelah beres kami memutar balik ke arah tadi dan kami menemukan jalan yang benar untuk sementara karena kami menemukan pipa air yang merupakan petunjuk arah. Foto-foto sebentar di jembatan pipa air tersebut kemudian kami berjalan lagi. Kami bertemu dengan seorang penduduk lokal dan bertegur sapa. Menurut dia, kami salah jalan jika akan ke Tangkuban Parahu. Tapi Machdar bersikeras jika jalan kami sudah benar. Kami pun tetap mengikuti arah yang ditunjukkan Machdar. Sampai di suatu perempatan, Machdar lupa jalan mana yang dipilih. Terakhir kali ia lewat ke situ adalah 2-3 tahun yang lalu. Saya pun berinisiatif bertanya pada seorang penduduk yang kebetulan sedang mencari rumput di sekitar itu. Dengan wajah yang kurang menyakinkan, peduduk tersebut menunjukkanjalur ke arah kanan. Kami pun mengikuti arah tersebut. Ternyata kami keluar dari batas vegetasi ladang dan kebun penduduk dan mulai memasuki hutan.
Kami benar-benar buta ke arah mana kami harus melangkah karena hutan ini asing bagi kami. Dengan sedikit bekal pengalaman, kami melihat ada tanda-tanda jalur yang ditinggalkan berupa tali plastik berwarna biru. Akhirnya kami putuskan untuk mengikuti tanda tersebut walau dengan sedikit ragu-ragu. Kami berjalan terus dengan diselingi istirahat sebentar. Jalan yang kami lalui berkelok-kelok dan cenderung ke arah kiri yang artinya agak menjauh dari tujuan kami. Tiga orang teman saya tersebut mulai ragu-ragu, tapi saya coba yakinkan mereka dan pasrah dengan keadaan. Kami akhirnya memberi batas waktu sampai pukul 13:00 jika belum sampai maka kami akan putar balik. Kami terus berjalan. Sadar jalan yang dilalui berkelok-kelok, kami pun sesekali memotong kompas aga rlebih cepat.
Sampailah kami di suatu tempat dimana tidak ada lagi pepohonan yang lebih tinggi dibanding sekitar kami dan saya yakini itu adalah puncak. Ada jalur ke kiri dan kanan. Setelah berdiskusi kami berjalan ke arah kanan dan kami menenmukan sebuah gerbang pintu dari besi. Kami bertanya apakah itu? Eka dan Sukma berjalan ke arah gerbang tersebut terlebih dahulu untuk mengecek. Saya dan Machdar mengikuti dari belakang. Ternyata setelah dekat kami dapat melihat tiang pemancar yang tak lain adalah puncak dari Gunung Tangkuban Parahu. Kami merasa gembira sekali karena berhasil mencapai puncak. Jam menunjukkan pukul 11:30 saat kami mencapai puncak tersebut. Kegembiraan kami juga karena kami tidak melewati pos penjaga TWA Tangkuban Parahu yang kini dikelola oleh pihak swasta sehingga meski lewat jalur Jayagiri tetap harus membayar tiket masuk sebesar Rp 13.000. Dan yang paling penting menurut Machdar dan Sukma ini adalah perjalanan tersingkat yang mereka lalui sepanjang ke Tangkuban Parahu via Jayagiri. Saya dan Eka baru pertama kali mengalami ini. Wow nya adalah jalurnya pun baru pertama kali kami lewati. Tak jauh ada warung yang sedang tutup kami beristirahat lagi di situ. Di dekat warung itu ada petunjuk arah, ke arah bawah menuju Kawah Upas dan lurus terus menuju Kawah Ratu.
Setelah cukup beristirahat, kami memutuskan untuk berjalan lagi. Awalnya kami sempat bingung akan melanjutkan ke arah mana, tapi saya mengusulkan untuk ke arah Kawah Upas karena sudah biasa untuk melihat Kawah Ratu. Saya sendiri sebenarnya belum pernah ke Kawah Upas sehingga saya agak penasaran. Kami berjalan menurun ke bawah, saya berada di depan karena ingin segera sampai. Ketiga teman saya tertinggal cukup jauh sehingga mereka memanggil-manggil saya. Sampailah saya di sebuah persimpangan yang terdapat petunjuk ke arah Kawah Upas (kanan), Parongpong (kiri) dan Tempat Parkir (arah saya datang). Saya menunggu mereka di persimpangan tersebut. Setelah mereka tiba, kami melanjutkan ke arah kiri yang terdapat beberapa batang dahan yang sengaja diletakan di persimpangan tersebut. Berjalan tidak cukup jauh hingga sebuah turunan, kami disuguhkan oleh pemandangan Kawah Ratu dari jarak yang sangat dekat. Sebuah tebing di bibir Kawah Ratu, spot yang menarik untuk mengambil beberapa foto. Bau belerang cukup terasa di tempat ini karena jarak yang cukup dekat dengan asap belerang dari Kawah Ratu.
Sementara ketiga teman saya berfoto dan berisitrahat lagi, saya melanjutkan perjalanan untuk melihat apakah ada jalan tembus ke Kawah Ratu. Melewati jalanan berbatu yang cukup licin, saya turuni jalan tersebut. Sisi kiri dan kanan saya banyak terdapat pohon Kantigi. Sampailah saya di ujung jalan berbatu tersebut. Dari situ saya dapat melihat banyak tulisan-tulisan di atas pasir putih dalam Kawah Upas. Sekilas mirip dengan Kawah Putih di Gunung Patuha.  Terlihat sebuah shelter di dekat pasir-pasir putih tersebut. Saya mencari jalan untuk menuju ke sana. Di sebelah sisi kanan tebing terdapat jalan setapak dari batu yang cukup curam untuk dituruni. Ada beberapa warna dari batu tersebut: merah, kuning dan hijau, mungkin reaksi dari belerang di Kawah Ratu. Dari tempat ini bau belerang cukup menyengat karena angin berhembus ke arah Kawah Upas sehingga asap belerang dari Kawah Ratu tercium. Saya kembali ke tempat teman-teman berada.
Sekembalinya saya, mereka masih berfoto ria. Saya mengajak mereka untuk beristirahat di shelter saja. Akhirnya kami bergerak lagi, sebelumnya Machdar mengabadikan diri dalam video untuk ber-beatbox dengan latar Kawah Ratu yang sungguh memesona. Perjalanan menuruni jalan berbatu ini cukup sulit. Beberapa kali saya hampir terpeleset, tidak seperti awal tadi saya mencari jalan. Kami mencapai ujung tebing, kemudian menuruni tebing tersebut melalui jalan setapak yang cukup curam. Dari tebing tersebut kami mulai terpisah karena mencari jalan masing-masing. Saya berada di depan. Sesekali teman-teman saya berfoto-foto karena pemandangannya cukup menarik. Bau belerang membuat saya tidak nyaman, saya menggunakan slayer yang dibasahi agar tidak terlalu terganggu oleh bau belerang.
Akhirnya saya sampai di shelter, kemudian berkeliling sambil menunggu yang lain. Eka tiba menyusul saya, diikuti oleh Machdar dan terakhir Sukma. Keadaan shelter dan sekitar cukup sepi. Hanya ada kami di sana. Kanan shelter adalah Kawah Upas dan kiri shelter adalah Kawah Ratu. Serasa menjadi gunung pribadi saja. Kami memuaskan nafsu makan kami disana. Machdar tidak membawa bekal sehingga saya membagi dua bekal makanan saya. Sehabis makan, kami bermain kartu poker beberapa game di sana sambil beristirahat. Sampai pukul 13.30, kami memutuskan untuk bergerak lagi karena kami belum solat dzuhur. Dari jauh tampak mesjid di dekat sisi bibir Kawah Ratu yang lainnya. Kami berjalan memutar bibir kawah dan masuk ke kawasan penuh pohon. Melewati jembatan yang ternyata adalah tempat nostalgia Sukma sewaktu dulu berpacaran di Tangkuban Parahu.
Dan sampailah kami di gerbang Kawah Upas yang resmi. Ternyata pintu tersebut ditutup dengan diikat. Ada tulisan close di pintu tersebut. Setelah beberapa saat ternyata kami sadar bahwa kawasan Kawah Upas sedang ditutup dari pengunjung sehingga pintu gerbangnya ditutup. Dengan agak terburu kami membuka pintu dan menutupnya lagi. Ingin secepatnya saya pergi dari situ karena takut ketahuan petugas. Dari sisi lain ada rombongan pengunjung yang akan masuk ke Kawah Upas. Setelah kami keluar, mereka akan masuk dan membuka ikatan pintu tadi. Eh ternyata ada petugas di pos depan pintu tersebut dan menegur rombongan tersebut. Kami yang sudah berjalan meninggalkan pintu tersebut hanya tersenyum karena kami baru saja dari Kawah Upas. Setelah dicari tahu ternyata Kawah Upas ditutup gegara gas beracun dari Kawah Ratu yang berbahaya bagi pengunjung. Alhamdulillah kami selamat meski tidak tahu informasi tersebut sebelumnya.
Setelah melewati pasar jualan oleh-oleh. Kami langsung menuju mesjid yang tadi kami lihat. Kami membersihkan diri dan solat dzuhur di mesjid tersebut. Beristirahat sebentar dan saya melihat-lihat Kawah Ratu. Kami memutuskan untuk ke Kawah Domas untuk berendam. Di Kawah Domas memang terdapat sumber air panas yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Saking panasnya kita bisa merebus telur, bahkan telur rebus dari sana juga dipercaya berkhasiat. Dengan berjalan menurun kembali melewati jalan setapak berundak-undak kami menuju Kawah Domas. Ternyata perjalanan cukup jauh. Kami melewati beberapa warung kecil yang memiliki pemandangan Kawah Domas yang cukup indah. Berjalan terus sampailah kami di persimpangan, kami berbelok ke kanan. Tak jauh kami tiba di Kawah Domas. Kami langsung mencari kolam dengan panas yang cukup untuk merendam kaki kami. Setelah dirasa cukup untuk melepas pegal-pegal, kami mampir ke warung di dekat sana. Kabut sudah mulai naik. Hujanpun turun.
Di warung tersebut, kami memesan minuman yang hangat. Saya dan Sukma memesan kopi sedangkan Eka dan Machdar memesan bajigur dan bandrek. Hujanpun turun cukup lebat dan lama. Kami bermain poker kembali sambil menunggu hujan. Rencana kami untuk berjalan pulang pukul 16.00 pun kandas. Hujan menjegal langkah kami sampai pukul 16.30. Kami solat Ashar di mushola dekat warung tadi. Cuaca menjadi sangat dingin. Air wudhu pun sangat dingin dirasa. Setelah selesai solat ternyata kami ditunggui petugas di sana. Sudah tidak ada orang di Kawah Domas. Ternyata petugas hanya memastikan tidak ada orang lagi di kawah. Kami berjalan pulang dipandu oleh petugas tersebut. Sampailah kami di gerbang Kawah Upas. Di sana kami ditunggui petugas lain yang bertanya kami akan pulang ke mana dengan menggunakan apa. Karena takut ketahuan kami masuk secara ilegal, kami agak bersilat lidah. Petugas tersebut khawatir kami tersesat karena kemalaman di hutan jika kami kembali melalui gerbang Jayagiri. Jam saat itu menunjukkan pukul 17.00. Kami disuruh naik angkutan wisata “Wara-Wiri” sampai ke Cikole. Akhirnya kami menurut saja.
Dengan biaya Rp 10.000 untuk 4 orang kami menumpang Wara-Wiri. Menurut sang sopir seharusnya biayanya adalah Rp 4000 per orang tapi karena kami adalah penumpang terakhir ya tak apalah. Dari Cikole kami diberi tahu untuk naik angkot berwarna kuning sampai Pasar Lembang. Kami memutuskan hal lain yaitu untuk hitchiking. Dengan menumpang mobil bak terbuka kami meluncur ke Pasar Lembang. Mobil sempat mampir ke sebuah mini market. Adzan Magrib pun berkumandang sesaat kami tiba di dekat Pasar Lembang, tepatnya perempatan Panorama. Kami berjalan ke arah jalan Jayagiri. Sesampainya di depan jalan Jayagiri, saya dan Eka naik ojek ke gerbang Jayagiri untuk mengambil motor sesuai dengan rencana kami di mobil bak tadi. Setelah membayar parkir kami meluncur ke mesjid kecil di dekat  jalan Jayagiri.
Ternyata ketiga teman saya sudah ditunggu oleh Edwin dan beberapa teman di angkringan dekat ITB. Saya juga diajak cuma saya ingin beristirahat saja di rumah. Saya menumpang motor Machdar sampai kampus UPI di Ledeng. Dari situ saya naik angkot Stasiun – Lembang seperti saat saya pergi tadi sampai perempatan Istana Plaza dengan ongkos 3000 rupiah. Dari situ saya meluncur ke rumah dengan menumpang angkot Stasiun – Cimahi yang lewat depan rumah saya dengan biaya 2000 rupiah. Sampai di rumah saya langsung mandi dengan air hangat. Ah sekian cerita perjalanan saya ke Tangkuban Parahu via Jayagiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar