Sebenernya masih punya hutang lanjutan catper burangrang tapi masih belum beres-beres juga. Ya catper tangkuban parahu ini meski ga ada fotonya karena masih ditahan sama teman-teman yang lain, saya luncurkan mumpung masih hangat di pikiran.
Setelah beberapa
kali merencanakan hiking bersama anak-anak kampus dari Bandung, akhirnya
tanggal 31 Oktober 2012 terjadilah acara tersebut. Adalah saya, Sukma, Machdar
dan Eka menjadi peserta hiking ceria ini. Fabian medadak tidak bisa ikut karena
kesehatannya drop akibat semalam hujan-hujanan. Sementara Dede sepertinya masih
belum sehat juga.
Tujuan hiking kami
adalah Gunung Tangkuban Parahu. Sebuah gunung di kawasan Bandung Utara yang
tidak terlalu tinggi sekitar 2087 mdpl. Bahkan untuk bisa mengakses ke kawah
yang berada di puncak gunung tersebut kita dapat menggunakan kendaraan mulai
dari sepeda sampai bis sekalipun. Tapi kami berempat menggunakan cara yang
berbeda dari segala kemudahan tersebut. Kami mendaki dengan berjalan kaki
menembus hutan Jayagiri yang berada di kaki gunung.
Perjalanan ini
dimulai setelah sebelumnya kami bersepakat untuk pergi bersama dari rumah Sukma
di kawasan Sarijadi. Namun, saya memutuskan untuk ngangkot dari rumah langsung
ke gerbang Jayagiri. Ternyata terjadi miss-communication, saya kira mereka akan
ngangkot juga dari rumah Sukma tapi nyatanya mereka menggunakan sepeda motor. Kalau
saya tahu itu setidaknya saya bisa berhemat ongkos dan waktu tempuh ke gerbang
Jayagiri.
Rumah saya yang
terletak di kawasan Sudirman-Cibeureum atau yang biasa orang sebut Batas Kota
(fyi hal ini disebabkan seberang rumah saya adalah kota Cimahi dan rumah saya
masuk kota Bandung). Karena rencana awal kumpul pukul 06:00 di rumah Sukma,
saya berangkat pukul 06:30 dari rumah menggunakan angkot Cijerah-Sederhana dan
berhenti di depan Istana Plaza. Sekalian nostalgia dengan angkot yang sewaktu
SD mengantar saya pergi sekolah sebelum perannya digantikan oleh bis kota
DAMRI. Ternyata jalan yang saya lalui lumayan terkena macet sampai di kawasan
Halteu Utara. Lewat perlintasan rel kereta api, jalanan menjadi lancar jaya
kembali. Di depan Istana Plaza ternyata angkot yang saya tumpangi berbalik arah
dan menurunkan saya. Supirnya meminta saya naik angkot lain saya, padahal saya
memang akan turun di situ. Alhasil ketika saya turun dan akan membayar, angkot
tersebut malah maju dan meninggalkan saya tanpa sempat membayar. Alhamdulillah.
Tak lama, saat itu
juga saya pindah angkot dengan jurusan Stasion – Lembang. Angkot L300 ini
kosong tanpa penumpang dan saya jadi yang pertama. Mobil melaju dengan santai
sambil lambat laun menaikkan penumpang. Rata-rata penumpang turun di Terminal
Ledeng. Dari Ledeng hanya ada 3 orang yang tujuannya sama-sama ke Lembang. Tak
begitu lama, Pukul 8:00 kurang saya sudah tiba di mulut jalan Jayagiri. Saya
mengirim pesan kepada Sukma karena tidak saya lihat batang hidung teman-taman
saya. Yang ada Cuma beberapa tukang ojek yang sedang mengobrol. Sukma pun
membalas jika dia dan yang lain sudah ada di gerbang masuk hutan Jayagiri.
Sayapun melenggang berjalan kaki ke arah tempat yang dimaksud.
Sekitar
15 menit saya sudah bertemu mereka sedang duduk santai di depan gerbang. Tanpa
banyak basa-basi kami langsung masuk ke gerbang dan menghampiri pos polisi
hutan untuk melapor. Ternyata pos tersebut kosong. Kami pun masuk. Tak jauh
dari situ terdapat warung dan ternyata Pak Polisi Hutan sedang nyuruput kopi di
situ. Kamipun melapor dan mebayar uang masuk sebesar Rp 20.000 untuk 4 orang.
Perjalanan pun dimulai. Kami disuguhkan jalan setapak tanah dengan pemandangan
hutan pinus di kiri dan kanan kami. Kami berjalan sambil ngobrol ngaler ngidul.
Tak lama sekitar 30-45 menit kami sudah sampai di tempat persimpangan dengan
jalur trek motor trail. Beristirahat kami di warung-warung kosong yang memang tidak
buka karena masih weekday. Beristirahat sebentar kami pun memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan yang diperkirakan akan sampai ke tempat parkir Taman
Wisata Alam (TWA) Tangkuban Parahu pada pukul 13:30.
Beberapa meter dari tempat kami istirahat tadi kami menemukan jalan
bercabang. Dengan pengalaman 7 kalinya Machdar, kami bergerak ke arah kanan.
Terus berjalan hingga ada persimpangan lagi. Tak jauh dari persimpangan tadi
ada 2 orang tentara yang sedang berjalan juga. Mereka berjalan ke arah kanan kami.
Kami sempat akan mengikuti mereka tapi niat tersebut kami urungkan dan bergerak
ke arah kiri atau asal kedua tentara tadi datang. Setelah beberapa saat berjalan, Machdar dan
Sukma merasa jika kami salah jalan. Karena tanggung kami tetap melanjutkan
perjalanan mengikuti jalan setapak tersebut. Sampailah kami di jalanan beraspal
menuju TWA Tangkuban Parahu. Kami beristirahat lagi di dekat jalanan beraspal
tersebut karena pemandangannya yang cukup bagus. Sambil istirahat kami main
poker satu game saja.
Setelah beres kami memutar balik ke arah tadi dan kami menemukan jalan
yang benar untuk sementara karena kami menemukan pipa air yang merupakan
petunjuk arah. Foto-foto sebentar di jembatan pipa air tersebut kemudian kami
berjalan lagi. Kami bertemu dengan seorang penduduk lokal dan bertegur sapa.
Menurut dia, kami salah jalan jika akan ke Tangkuban Parahu. Tapi Machdar
bersikeras jika jalan kami sudah benar. Kami pun tetap mengikuti arah yang
ditunjukkan Machdar. Sampai di suatu perempatan, Machdar lupa jalan mana yang
dipilih. Terakhir kali ia lewat ke situ adalah 2-3 tahun yang lalu. Saya pun
berinisiatif bertanya pada seorang penduduk yang kebetulan sedang mencari
rumput di sekitar itu. Dengan wajah yang kurang menyakinkan, peduduk tersebut
menunjukkanjalur ke arah kanan. Kami pun mengikuti arah tersebut. Ternyata kami
keluar dari batas vegetasi ladang dan kebun penduduk dan mulai memasuki hutan.
Kami benar-benar buta ke arah mana kami harus melangkah karena hutan ini
asing bagi kami. Dengan sedikit bekal pengalaman, kami melihat ada tanda-tanda
jalur yang ditinggalkan berupa tali plastik berwarna biru. Akhirnya kami
putuskan untuk mengikuti tanda tersebut walau dengan sedikit ragu-ragu. Kami
berjalan terus dengan diselingi istirahat sebentar. Jalan yang kami lalui
berkelok-kelok dan cenderung ke arah kiri yang artinya agak menjauh dari tujuan
kami. Tiga orang teman saya tersebut mulai ragu-ragu, tapi saya coba yakinkan
mereka dan pasrah dengan keadaan. Kami akhirnya memberi batas waktu sampai
pukul 13:00 jika belum sampai maka kami akan putar balik. Kami terus berjalan.
Sadar jalan yang dilalui berkelok-kelok, kami pun sesekali memotong kompas aga
rlebih cepat.
Sampailah kami di suatu tempat dimana tidak ada lagi pepohonan yang
lebih tinggi dibanding sekitar kami dan saya yakini itu adalah puncak. Ada
jalur ke kiri dan kanan. Setelah berdiskusi kami berjalan ke arah kanan dan
kami menenmukan sebuah gerbang pintu dari besi. Kami bertanya apakah itu? Eka
dan Sukma berjalan ke arah gerbang tersebut terlebih dahulu untuk mengecek.
Saya dan Machdar mengikuti dari belakang. Ternyata setelah dekat kami dapat
melihat tiang pemancar yang tak lain adalah puncak dari Gunung Tangkuban
Parahu. Kami merasa gembira sekali karena berhasil mencapai puncak. Jam
menunjukkan pukul 11:30 saat kami mencapai puncak tersebut. Kegembiraan kami
juga karena kami tidak melewati pos penjaga TWA Tangkuban Parahu yang kini
dikelola oleh pihak swasta sehingga meski lewat jalur Jayagiri tetap harus
membayar tiket masuk sebesar Rp 13.000. Dan yang paling penting menurut Machdar
dan Sukma ini adalah perjalanan tersingkat yang mereka lalui sepanjang ke
Tangkuban Parahu via Jayagiri. Saya dan Eka baru pertama kali mengalami ini.
Wow nya adalah jalurnya pun baru pertama kali kami lewati. Tak jauh ada warung
yang sedang tutup kami beristirahat lagi di situ. Di dekat warung itu ada
petunjuk arah, ke arah bawah menuju Kawah Upas dan lurus terus menuju Kawah
Ratu.
Setelah cukup beristirahat, kami memutuskan untuk berjalan lagi. Awalnya
kami sempat bingung akan melanjutkan ke arah mana, tapi saya mengusulkan untuk
ke arah Kawah Upas karena sudah biasa untuk melihat Kawah Ratu. Saya sendiri
sebenarnya belum pernah ke Kawah Upas sehingga saya agak penasaran. Kami
berjalan menurun ke bawah, saya berada di depan karena ingin segera sampai.
Ketiga teman saya tertinggal cukup jauh sehingga mereka memanggil-manggil saya.
Sampailah saya di sebuah persimpangan yang terdapat petunjuk ke arah Kawah Upas
(kanan), Parongpong (kiri) dan Tempat Parkir (arah saya datang). Saya menunggu
mereka di persimpangan tersebut. Setelah mereka tiba, kami melanjutkan ke arah
kiri yang terdapat beberapa batang dahan yang sengaja diletakan di persimpangan
tersebut. Berjalan tidak cukup jauh hingga sebuah turunan, kami disuguhkan oleh
pemandangan Kawah Ratu dari jarak yang sangat dekat. Sebuah tebing di bibir
Kawah Ratu, spot yang menarik untuk mengambil beberapa foto. Bau belerang cukup
terasa di tempat ini karena jarak yang cukup dekat dengan asap belerang dari
Kawah Ratu.
Sementara ketiga teman saya berfoto dan berisitrahat lagi, saya
melanjutkan perjalanan untuk melihat apakah ada jalan tembus ke Kawah Ratu.
Melewati jalanan berbatu yang cukup licin, saya turuni jalan tersebut. Sisi
kiri dan kanan saya banyak terdapat pohon Kantigi. Sampailah saya di ujung
jalan berbatu tersebut. Dari situ saya dapat melihat banyak tulisan-tulisan di
atas pasir putih dalam Kawah Upas. Sekilas mirip dengan Kawah Putih di Gunung
Patuha. Terlihat sebuah shelter di dekat
pasir-pasir putih tersebut. Saya mencari jalan untuk menuju ke sana. Di sebelah
sisi kanan tebing terdapat jalan setapak dari batu yang cukup curam untuk
dituruni. Ada beberapa warna dari batu tersebut: merah, kuning dan hijau,
mungkin reaksi dari belerang di Kawah Ratu. Dari tempat ini bau belerang cukup
menyengat karena angin berhembus ke arah Kawah Upas sehingga asap belerang dari
Kawah Ratu tercium. Saya kembali ke tempat teman-teman berada.
Sekembalinya saya, mereka masih berfoto ria. Saya mengajak mereka untuk
beristirahat di shelter saja. Akhirnya kami bergerak lagi, sebelumnya Machdar
mengabadikan diri dalam video untuk ber-beatbox dengan latar Kawah Ratu yang
sungguh memesona. Perjalanan menuruni jalan berbatu ini cukup sulit. Beberapa
kali saya hampir terpeleset, tidak seperti awal tadi saya mencari jalan. Kami
mencapai ujung tebing, kemudian menuruni tebing tersebut melalui jalan setapak
yang cukup curam. Dari tebing tersebut kami mulai terpisah karena mencari jalan
masing-masing. Saya berada di depan. Sesekali teman-teman saya berfoto-foto
karena pemandangannya cukup menarik. Bau belerang membuat saya tidak nyaman,
saya menggunakan slayer yang dibasahi agar tidak terlalu terganggu oleh bau
belerang.
Akhirnya saya sampai di shelter, kemudian berkeliling sambil menunggu
yang lain. Eka tiba menyusul saya, diikuti oleh Machdar dan terakhir Sukma.
Keadaan shelter dan sekitar cukup sepi. Hanya ada kami di sana. Kanan shelter
adalah Kawah Upas dan kiri shelter adalah Kawah Ratu. Serasa menjadi gunung
pribadi saja. Kami memuaskan nafsu makan kami disana. Machdar tidak membawa
bekal sehingga saya membagi dua bekal makanan saya. Sehabis makan, kami bermain
kartu poker beberapa game di sana sambil beristirahat. Sampai pukul 13.30, kami
memutuskan untuk bergerak lagi karena kami belum solat dzuhur. Dari jauh tampak
mesjid di dekat sisi bibir Kawah Ratu yang lainnya. Kami berjalan memutar bibir
kawah dan masuk ke kawasan penuh pohon. Melewati jembatan yang ternyata adalah
tempat nostalgia Sukma sewaktu dulu berpacaran di Tangkuban Parahu.
Dan sampailah kami di gerbang Kawah Upas yang resmi. Ternyata pintu
tersebut ditutup dengan diikat. Ada tulisan close di pintu tersebut. Setelah
beberapa saat ternyata kami sadar bahwa kawasan Kawah Upas sedang ditutup dari
pengunjung sehingga pintu gerbangnya ditutup. Dengan agak terburu kami membuka
pintu dan menutupnya lagi. Ingin secepatnya saya pergi dari situ karena takut
ketahuan petugas. Dari sisi lain ada rombongan pengunjung yang akan masuk ke
Kawah Upas. Setelah kami keluar, mereka akan masuk dan membuka ikatan pintu
tadi. Eh ternyata ada petugas di pos depan pintu tersebut dan menegur rombongan
tersebut. Kami yang sudah berjalan meninggalkan pintu tersebut hanya tersenyum
karena kami baru saja dari Kawah Upas. Setelah dicari tahu ternyata Kawah Upas
ditutup gegara gas beracun dari Kawah Ratu yang berbahaya bagi pengunjung.
Alhamdulillah kami selamat meski tidak tahu informasi tersebut sebelumnya.
Setelah melewati pasar jualan oleh-oleh. Kami langsung menuju mesjid
yang tadi kami lihat. Kami membersihkan diri dan solat dzuhur di mesjid
tersebut. Beristirahat sebentar dan saya melihat-lihat Kawah Ratu. Kami
memutuskan untuk ke Kawah Domas untuk berendam. Di Kawah Domas memang terdapat
sumber air panas yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Saking panasnya
kita bisa merebus telur, bahkan telur rebus dari sana juga dipercaya
berkhasiat. Dengan berjalan menurun kembali melewati jalan setapak
berundak-undak kami menuju Kawah Domas. Ternyata perjalanan cukup jauh. Kami
melewati beberapa warung kecil yang memiliki pemandangan Kawah Domas yang cukup
indah. Berjalan terus sampailah kami di persimpangan, kami berbelok ke kanan.
Tak jauh kami tiba di Kawah Domas. Kami langsung mencari kolam dengan panas
yang cukup untuk merendam kaki kami. Setelah dirasa cukup untuk melepas
pegal-pegal, kami mampir ke warung di dekat sana. Kabut sudah mulai naik.
Hujanpun turun.
Di warung tersebut, kami memesan minuman yang hangat. Saya dan Sukma
memesan kopi sedangkan Eka dan Machdar memesan bajigur dan bandrek. Hujanpun
turun cukup lebat dan lama. Kami bermain poker kembali sambil menunggu hujan.
Rencana kami untuk berjalan pulang pukul 16.00 pun kandas. Hujan menjegal
langkah kami sampai pukul 16.30. Kami solat Ashar di mushola dekat warung tadi.
Cuaca menjadi sangat dingin. Air wudhu pun sangat dingin dirasa. Setelah
selesai solat ternyata kami ditunggui petugas di sana. Sudah tidak ada orang di
Kawah Domas. Ternyata petugas hanya memastikan tidak ada orang lagi di kawah.
Kami berjalan pulang dipandu oleh petugas tersebut. Sampailah kami di gerbang
Kawah Upas. Di sana kami ditunggui petugas lain yang bertanya kami akan pulang
ke mana dengan menggunakan apa. Karena takut ketahuan kami masuk secara ilegal,
kami agak bersilat lidah. Petugas tersebut khawatir kami tersesat karena kemalaman
di hutan jika kami kembali melalui gerbang Jayagiri. Jam saat itu menunjukkan
pukul 17.00. Kami disuruh naik angkutan wisata “Wara-Wiri” sampai ke Cikole.
Akhirnya kami menurut saja.
Dengan biaya Rp 10.000 untuk 4 orang kami menumpang Wara-Wiri. Menurut
sang sopir seharusnya biayanya adalah Rp 4000 per orang tapi karena kami adalah
penumpang terakhir ya tak apalah. Dari Cikole kami diberi tahu untuk naik
angkot berwarna kuning sampai Pasar Lembang. Kami memutuskan hal lain yaitu
untuk hitchiking. Dengan menumpang mobil bak terbuka kami meluncur ke Pasar
Lembang. Mobil sempat mampir ke sebuah mini market. Adzan Magrib pun
berkumandang sesaat kami tiba di dekat Pasar Lembang, tepatnya perempatan
Panorama. Kami berjalan ke arah jalan Jayagiri. Sesampainya di depan jalan
Jayagiri, saya dan Eka naik ojek ke gerbang Jayagiri untuk mengambil motor
sesuai dengan rencana kami di mobil bak tadi. Setelah membayar parkir kami
meluncur ke mesjid kecil di dekat jalan
Jayagiri.
Ternyata ketiga teman saya sudah ditunggu oleh Edwin dan beberapa teman
di angkringan dekat ITB. Saya juga diajak cuma saya ingin beristirahat saja di
rumah. Saya menumpang motor Machdar sampai kampus UPI di Ledeng. Dari situ saya
naik angkot Stasiun – Lembang seperti saat saya pergi tadi sampai perempatan
Istana Plaza dengan ongkos 3000 rupiah. Dari situ saya meluncur ke rumah dengan
menumpang angkot Stasiun – Cimahi yang lewat depan rumah saya dengan biaya 2000
rupiah. Sampai di rumah saya langsung mandi dengan air hangat. Ah sekian cerita
perjalanan saya ke Tangkuban Parahu via Jayagiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar