So I look in your direction,
But you pay me no attention, do you?
I know you don't listen to me.
'cause you say you see straight through me, don't you?
And on and on from the moment I wake,
To the moment I sleep,
I'll be there by your side, Just you try and stop me,
I'll be waiting in line, Just to see if you care.
So I look in your direction,
But you pay me no attention,
And you know how much I need you,
But you never even see me.
I know you don't listen to me.
'cause you say you see straight through me, don't you?
And on and on from the moment I wake,
To the moment I sleep,
I'll be there by your side, Just you try and stop me,
I'll be waiting in line, Just to see if you care.
So I look in your direction,
But you pay me no attention,
And you know how much I need you,
But you never even see me.
- Shiver, by Coldplay
Hari ini 24 Desember dan esok
tepat 6 bulan yang lalu terakhir kita bertemu. Aku sekarang duduk di atas
sebuah sofa kecil di sebuah ruangan yang tidak begitu besar. Ruangan yang aku
sebut dengan istilah apartemen. Mungkin lebih cocok disebut flat saja tapi ku rasa ukurannya lebih
besar dari sekedar flat biasa. Bahkan wallpaper di dinding sudah
tampak memudar menjadi coklat dari yang asalnya aku yakin berwarna merah. Di
tanganku, aku memegang dan menatap hadiah pertama sekaligus kenang-kenangan
terakhir yang kamu berikan padaku, sebuah foto kita berdua di malam inagurasi
putih-abu kita. Ya malam yang esok akan genap berumur 6 bulan. Dalam foto itu,
dirimu tersenyum di samping kanan bahuku. Mungkin hanya sedikit yang akan
mengatakan kamu cantik di malam itu karena dibanding anak-anak perempuan lain
di SMA kita kamu tidak begitu populer. Tapi sesungguhnya kamu begitu menawan
dengan balutan gaun putih sederhana yang kamu kenakan.
Aku masih ingat betul malam itu.
Masih teringat jelas ketika itu temanku, Rama, mendorong diriku ke arahmu agar
aku berani meminta dirimu berfoto bersamaku. Dengan sebuah senyum dan anggukan
kecil, kamu mengiyakan permintaanku. Wajahku
merah waktu itu karena malu. Sekarang akupun tahu wajahmu juga merona memerah
waktu itu setelah aku melihat foto yang kini ku genggam. Saat itu aku tak
sanggup melihat wajahmu lagi karena saking aku malu. Dan sejujurnya aku
menyesalinya kini karena itulah sebenarnya kesempatan terakhirku menatap
wajahmu. Setelah momen foto itu, aku tak pernah melihat dirimu lagi.
Secangkir teh hangat dan beberapa
gula berbentuk dadu tersaji di atas meja di depan sofa yang sekarang sedang aku
duduki menemani diriku memandangi foto kita berdua. Perlahan ku reguk
cangkirnya dan aku meminumnya sampai tersisa setengahnya. Telepon genggamku di
atas meja bergetar kemudian disusul nada dering berupa sebuah lagu berjudul Shiver tepat pada bagian intronya. Ya
sebuah lagu dari band asal Inggris yang sama-sama kita sukai, Coldplay. Aku
letakkan kembali cangkir the tersebut dan menyimpan foto tadi di atas meja. Ku
raih telepon genggamku dan sebuah pesan singkat masuk dari Deni, teman
kuliahku.
“hey
bro, tiket pesenan lo udah ditangan. kita jadi balik ke jakarta tgl 28. jangan
lupa gantiin duit gue ya za. hehe…”
Lalu dengan sigap aku langsung
membalas pesan tersebut.
“ok
bro, kalem ntar gue gantiin duit lo pas lu udah nyampe sini. sekalian ntar
bawaiin gue cemilan pas lo balik ke sini.”
Selesai membalas pesan itu, layar
telepon genggamku kembali ke Kotak Masuk.
Entah mengapa jariku bergerak dari atas menuju bawah layar sampai tiba pada
namamu, Riana. Pesan terakhir yang diterima telepon genggam ini darimu pada
tanggal 25 Juni 2012 pukul 23.23 atau 23 menit dari usainya malam perpisahan
kita. Pesan itu berbunyi:
“terima
kasih. aku bersyukur dengan semuanya yang udah kamu lakukan. tapi seharusnya
kamu berhenti. sekali lagi terima kasih reza.”
Pesan tersebut tak pernah aku balas.
Bukan karena tak sempat atau tak ingin, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku
katakan sebagai balasannya. Berjam-jam setelah pesan tersebut masuk, aku terus
memikirkannya hingga aku terjatuh tidur di atas ranjang kamar tidurku dengan
masih mengenakan kemeja putih dari malam perpisahan. Mungkin kamu benar, aku
seharusnya berhenti sehingga aku tak pernah membalasnya. Tapi mungkin saja kamu
hanya ingin tahu sampai di batas mana aku mau berjuang dan jika itu benar aku
telah kalah karena menyerah dengan menurutimu. Entah mana yang benar, hanya
saja aku terlalu bingung untuk menentukan sikap.
Ku letakkan kembali telepon genggamku
di atas meja. Aku bangkit dari sofa kecilku dan beranjak ke depan jendela
apartemen kecilku ini. Ku tatap langit yang sudah gelap padahal waktu baru
menunjukkan pukul 15.00 sore hari. Lalu aku melemparkan pandanganku ke arah
bawah sana, ku lihat orang-orang hilir mudik membawa kantong-kantong yang
besar. Mungkin kado natal yang esok akan mereka rayakan. Terbesit di pikiranku
sebuah pertanyaan sedang apa kamu kini di sana. Mungkin kamu sedang
mempersiapkan liburan panjang akhir tahunmu bersama keluarga besarmu atau
mungkin kamu malah sedang bekerja lembur mengumpulkan rupiah demi keluarga
besarmu juga. Entahlah aku hanya bisa bertanya-tanya sendiri tanpa pernah
mendapat jawabannya. Yang ku tahu 3 bulan lalu kau menulis di blog pribadimu
bahwa kau sedang senang karena diterima bekerja sebagai staff marketing di sebuah perusahaan di Jakarta. Setelah itu kamu
tidak pernah menulis lagi di blogmu tersebut.
Aku membuka jendela apartemenku di
kedua sisinya. Mungkin lebih tepat disebut pintu kaca, sebab ukurannya yang
besar dan merupakan akses menuju balkon. Aku berjalan ke luar, menuju balkon. Udara
mulai terasa dingin menyentuh kulitku yang hanya terbalut sweater tipis. Bagi
diriku yang tidak terbiasa dengan udara dingin, membuat gigiku sedikit
gemelutukan. Angin berhembus sepoi-sepoi
menyapu polosnya rambut dan wajahku. Ku lihat sebutir putih mulai turun dari
angkasa. Itu adalah salju pertama di kota ini. Salju pertama yang pernah aku
lihat seumur hidupku karena tak pernah ada di panasnya Jakarta. Di sini,
London, bermil-mil jauhnya darimu aku menemukan salju untuk pertama kalinya.
Aku tersenyum senang dan mungkin sama bahagianya dengan orang-orang London
lainnya karena dapat dipastikan esok orang-orang di London akan merayakan “White Christmas”. Senyum yang sama
ketika aku pertama kali berjumpa denganmu dulu. Mungkin kamu seperti salju yang
membuatku tersenyum di awal kehadirannya namun memberikan tanya yang besar
ketika menghilang di akhir musim sama seperti tanda tanya keberadaan dan
kabarmu kini. Tapi aku yakin seperti musim dingin yang akan dijumpai tahun
depan, aku akan bertemu dirimu lagi meski entah kapan. Suara bel dari arah
pintu apartemenku berbunyi membuyarkan segala lamunanku tentang dirimu. Mungkin
Deni sudah tiba di depan pintu apartemenku. Aku menutup jendela kemudian
berjalan menuju pintu dan hujan salju pertama di musim dingin pertamaku pun
mulai turun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar