Selasa, 07 Mei 2013

Last Chapter


So I look in your direction,
But you pay me no attention, do you?
I know you don't listen to me.
'cause you say you see straight through me, don't you?

And on and on from the moment I wake,
To the moment I sleep,
I'll be there by your side, Just you try and stop me,
I'll be waiting in line, Just to see if you care.

So I look in your direction,
But you pay me no attention,
And you know how much I need you,
But you never even see me.

- Shiver, by Coldplay

Hari ini 24 Desember dan esok tepat 6 bulan yang lalu terakhir kita bertemu. Aku sekarang duduk di atas sebuah sofa kecil di sebuah ruangan yang tidak begitu besar. Ruangan yang aku sebut dengan istilah apartemen. Mungkin lebih cocok disebut flat saja tapi ku rasa ukurannya lebih besar dari sekedar flat  biasa. Bahkan wallpaper  di dinding sudah tampak memudar menjadi coklat dari yang asalnya aku yakin berwarna merah. Di tanganku, aku memegang dan menatap hadiah pertama sekaligus kenang-kenangan terakhir yang kamu berikan padaku, sebuah foto kita berdua di malam inagurasi putih-abu kita. Ya malam yang esok akan genap berumur 6 bulan. Dalam foto itu, dirimu tersenyum di samping kanan bahuku. Mungkin hanya sedikit yang akan mengatakan kamu cantik di malam itu karena dibanding anak-anak perempuan lain di SMA kita kamu tidak begitu populer. Tapi sesungguhnya kamu begitu menawan dengan balutan gaun putih sederhana yang kamu kenakan.

Aku masih ingat betul malam itu. Masih teringat jelas ketika itu temanku, Rama, mendorong diriku ke arahmu agar aku berani meminta dirimu berfoto bersamaku. Dengan sebuah senyum dan anggukan kecil, kamu mengiyakan permintaanku.  Wajahku merah waktu itu karena malu. Sekarang akupun tahu wajahmu juga merona memerah waktu itu setelah aku melihat foto yang kini ku genggam. Saat itu aku tak sanggup melihat wajahmu lagi karena saking aku malu. Dan sejujurnya aku menyesalinya kini karena itulah sebenarnya kesempatan terakhirku menatap wajahmu. Setelah momen foto itu, aku tak pernah melihat dirimu lagi.
Secangkir teh hangat dan beberapa gula berbentuk dadu tersaji di atas meja di depan sofa yang sekarang sedang aku duduki menemani diriku memandangi foto kita berdua. Perlahan ku reguk cangkirnya dan aku meminumnya sampai tersisa setengahnya. Telepon genggamku di atas meja bergetar kemudian disusul nada dering berupa sebuah lagu berjudul Shiver tepat pada bagian intronya. Ya sebuah lagu dari band asal Inggris yang sama-sama kita sukai, Coldplay. Aku letakkan kembali cangkir the tersebut dan menyimpan foto tadi di atas meja. Ku raih telepon genggamku dan sebuah pesan singkat masuk dari Deni, teman kuliahku.
“hey bro, tiket pesenan lo udah ditangan. kita jadi balik ke jakarta tgl 28. jangan lupa gantiin duit gue ya za. hehe…”
Lalu dengan sigap aku langsung membalas pesan tersebut.
“ok bro, kalem ntar gue gantiin duit lo pas lu udah nyampe sini. sekalian ntar bawaiin gue cemilan pas lo balik ke sini.”
Selesai membalas pesan itu, layar telepon genggamku kembali ke Kotak Masuk. Entah mengapa jariku bergerak dari atas menuju bawah layar sampai tiba pada namamu, Riana. Pesan terakhir yang diterima telepon genggam ini darimu pada tanggal 25 Juni 2012 pukul 23.23 atau 23 menit dari usainya malam perpisahan kita. Pesan itu berbunyi:
“terima kasih. aku bersyukur dengan semuanya yang udah kamu lakukan. tapi seharusnya kamu berhenti. sekali lagi terima kasih reza.”
Pesan tersebut tak pernah aku balas. Bukan karena tak sempat atau tak ingin, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku katakan sebagai balasannya. Berjam-jam setelah pesan tersebut masuk, aku terus memikirkannya hingga aku terjatuh tidur di atas ranjang kamar tidurku dengan masih mengenakan kemeja putih dari malam perpisahan. Mungkin kamu benar, aku seharusnya berhenti sehingga aku tak pernah membalasnya. Tapi mungkin saja kamu hanya ingin tahu sampai di batas mana aku mau berjuang dan jika itu benar aku telah kalah karena menyerah dengan menurutimu. Entah mana yang benar, hanya saja aku terlalu bingung untuk menentukan sikap.
Ku letakkan kembali telepon genggamku di atas meja. Aku bangkit dari sofa kecilku dan beranjak ke depan jendela apartemen kecilku ini. Ku tatap langit yang sudah gelap padahal waktu baru menunjukkan pukul 15.00 sore hari. Lalu aku melemparkan pandanganku ke arah bawah sana, ku lihat orang-orang hilir mudik membawa kantong-kantong yang besar. Mungkin kado natal yang esok akan mereka rayakan. Terbesit di pikiranku sebuah pertanyaan sedang apa kamu kini di sana. Mungkin kamu sedang mempersiapkan liburan panjang akhir tahunmu bersama keluarga besarmu atau mungkin kamu malah sedang bekerja lembur mengumpulkan rupiah demi keluarga besarmu juga. Entahlah aku hanya bisa bertanya-tanya sendiri tanpa pernah mendapat jawabannya. Yang ku tahu 3 bulan lalu kau menulis di blog pribadimu bahwa kau sedang senang karena diterima bekerja sebagai staff marketing di sebuah perusahaan di Jakarta. Setelah itu kamu tidak pernah menulis lagi di blogmu tersebut.
Aku membuka jendela apartemenku di kedua sisinya. Mungkin lebih tepat disebut pintu kaca, sebab ukurannya yang besar dan merupakan akses menuju balkon. Aku berjalan ke luar, menuju balkon. Udara mulai terasa dingin menyentuh kulitku yang hanya terbalut sweater tipis. Bagi diriku yang tidak terbiasa dengan udara dingin, membuat gigiku sedikit gemelutukan.  Angin berhembus sepoi-sepoi menyapu polosnya rambut dan wajahku. Ku lihat sebutir putih mulai turun dari angkasa. Itu adalah salju pertama di kota ini. Salju pertama yang pernah aku lihat seumur hidupku karena tak pernah ada di panasnya Jakarta. Di sini, London, bermil-mil jauhnya darimu aku menemukan salju untuk pertama kalinya. Aku tersenyum senang dan mungkin sama bahagianya dengan orang-orang London lainnya karena dapat dipastikan esok orang-orang di London akan merayakan “White Christmas”. Senyum yang sama ketika aku pertama kali berjumpa denganmu dulu. Mungkin kamu seperti salju yang membuatku tersenyum di awal kehadirannya namun memberikan tanya yang besar ketika menghilang di akhir musim sama seperti tanda tanya keberadaan dan kabarmu kini. Tapi aku yakin seperti musim dingin yang akan dijumpai tahun depan, aku akan bertemu dirimu lagi meski entah kapan. Suara bel dari arah pintu apartemenku berbunyi membuyarkan segala lamunanku tentang dirimu. Mungkin Deni sudah tiba di depan pintu apartemenku. Aku menutup jendela kemudian berjalan menuju pintu dan hujan salju pertama di musim dingin pertamaku pun mulai turun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar