Jumat, 01 Januari 2016

Catatan Perjalanan Gunung Guntur 2015


Satu tahun telah berlalu setelah pendakian terakhir kami ke Gunung Pangrango. Rasa jenuh dan rindu begitu menggebu di hati kami untuk bercumbu kembali dengan alam. Dengan perencanaan yang begitu mendadak, yakni Sabtu, 19 Desember 2015, saya dan kawan-kawan di Sahabat Hikers berkumpul di sebuah food court di bilangan Kopo, Bandung. Adalah saya, “Mr. President” Irvan, “Ustadz” Helmy, dan Mey berkumpul membicarakan rencana ini. Namun sayang sekali Mey tidak bias ikut bergabung dalam keberangkatan kali ini.

Seperti biasa yang menjadi masalah adalah tujuan. Ya acap kali kami berangkat, tujuan merupakan hal yang selalu penuh dengan perdebatan. Gunung Slamet di Jawa Tengah menjadi opsi awal kami untuk berangkat. Namun dengan beberapa pertimbangan, terutama masalah waktu, opsi ini gagal. Kemudian larilah kami ke Gunung Salak di Sukabumi. Lagi-lagi masalah kebingungan transportasi yang membuat kami mengurungkan niat menuju ke sana. Berhubung kali ini liburan panjang yang kemungkinan besar terjadi kemacetan parah di beberapa titik menuju ke sana. Gunung Ciremai di Kuningan kemudian menjadi salah satu pilihan menarik untuk di daki, apalagi kali ini Jalur Linggarjati yang menjadi pilihan. Fisik yang belum siap menjadi hambatan pula untuk kami mendaki gunung ini. Diperparah dengan hanya 3 personel yang akan berangkat. Akhirnya saya yang memberi usul untuk ke Gunung Guntur di Garut. Opsi ini yang menjadi kesepakatan bersama pada kesempatan terakhir sebelum foodcourt ini tutup.
Gunung Guntur di Garut merupakan gunung berapi (in)aktif yang tidak terlalu tinggi, hanya 2.249 mdpl. Kelebihan gunung ini justru dari jalur pendakian yang cukup ekstrem dibanding gunung-gunung lainnya. Sejujurnya saya mengusulkan gunung ini juga karena saya masih penasaran dengan gunung ini. Tahun 2013 lalu pertama kali saya ke sini, saya merasa saya telah berada di ambang batas kemampuan saya. Saya hampir menyerah untuk melanjutkan perjalanan, tapi di akhirnya saya sampai juga ke Puncak 2. Jalur berpasir dan berbatu dengan hampir tidak ada vegetasi yang tinggi membuat jalur pendakian gunung Guntur merupakan jalur yang berbahaya. Ditambah kemiringan gunung yang tidak manusiawi, hampir 60 derajat lebih.
Kelabilan terjadi lagi pada saat menjelang keberangkatan, Rabu 24 Desember 2015. Rencana awal saya, Irvan dan Helmy akan berkumpul di Stasiun Bandung pukul 04:00 untuk naik kereta api pertama menuju Stasiun Cicalengka. Akan tetapi, akhirnya kami berangkat dari Terminal Leuwi Panjang dikarenakan ya mungkin agak malas juga berangkat subuh sekali. Pukul 05:30 akhirnya kami berangkat menggunakan mobil Elf (bukan peri ya). Mobil ajaib dengan kapasitas 17-18 orang dijejali dengan lebih dari 20 orang di dalamnya, tentu sumpek dan lain-lainya. Bahkan di sebelah saya duduk seorang anak yang mengidap mabuk darat. Beruntung saya tidak ikutan muntah. Hahahaha. Perjalanan menggunakan mobil Elf ini memakan waktu hampir 3 jam, termasuk kemacetan di sekitar Rancaekek dan Leles. Akhirnya kami turun di SPBU Tanjung, tempat yang dekat dari gerbang desa Citiis, titik awal pendakian alias base camp terakhir.
Sesampainya kami di depan SPBU Tanjung, kami langsung diserbu oleh tukang ojek yang menawarkan jasanya mengantar ke base camp. Tapi kami berencana membeli beberapa logistik yang kurang dan juga sarapan dulu. Para tukang ojek itu akhirnya bubar, meski sepertinya memang masih mengincar kami. Saya belanja ke sebuah mini market dekat SPBU, dua orang kawan saya ke toilet di SPBU. Kembali dari belanja, dating seorang supir mobil bak terbuka menawarkan jasanya. Dua orang teman saya sedang bercakap-cakap dengan 3 orang dari Jakarta yang juga akan naik ke Guntur. Dengan total 6 orang tentu akan lebih murah menyewa jasa mobil bak terbuka dengan harga 20 ribu rupiah per orang disbanding ojek yang belakangan saya ketahui 25 ribu rupiah. Setelah saya deal dengan sang supir, ojek-ojek tadi menghampiri kami lagi. Dengan nada agak mengintimidasi, mereka setengah memaksa agar naik ojek saja. Mereka juga menurunkan harga sewa ojek menjadi 15 ribu. Karena khawatir terjadi keributan dengan supir mobil bak terbuka, akhirnya saya putuskan tim saya naik ojek saja dan teman baru kami dari Jakarta naik mobil bak terbuka. Kami berangkat dengan agak setengah hati dan rasa tidak enak pada supir mobil bak. Ya bisnis seputar pendakian memanglah sangat menarik. Mulai dari peralatan dan perintilan yang tergolong mahal hingga ongkos untuk memulai perjalanan, kebanyakan dinaikan secara sepihak oleh penyedia barang dan jasa karena menurut mereka para pendaki adalah orang-orang berdompet tebal padahal tidak semuanya.
Sebentar saja kami naik ojek, sekitar 15 menit kami sudah sampai di base camp rumah ketua RW, Ibu Tati. Ramai pendaki yang sedang menumpang istirahat di base camp. Kami yang belum sarapan kemudian memesan nasi dan telor dadar dan juga satu porsi lagi untuk dibungkus sebagai bekal makan siang. Mr. President sebagai ketua rombongan mendaftarkan diri di pos pendaftaran sambal menitipkan kartu identitasnya. Setelah cukup makan dan beristirahat, sekitar pukul 10:00 kami memulai perjalanan dari base camp. Tidak jauh dari base camp terdapat pos pembayaran PNBP yang dikelola oleh Balai Taman Nasional. Seingat saya dua tahun lalu tidak ada pungutan apa-apa selain sumbangan seikhlasnya untuk kas desa.
Perjalanan kemudian dimulai dengan melewati jalanan yang biasa dilewati truk-truk pengangkut pasir. Dulu sangat ramai hingga bias terlihat truk-truk berlalu lalang dan kita bias menumpang sampai ke Curug Citiis. Sepanjang perjalanan yang sungguh gersang dan panas bermandikan peluh, hanya satu truk yang lewat dan itu pun tidak mau kami tebengi. Hampir satu jam kami berjalan, akhirnya kami masuk ke dalam hutan yang cukup sejuk dibanding jalanan tadi. Mulai banyak warung-warung yang berdiri di sekitar jalan hutan. Kami pun beristirahat cukup lama di salah satu warung yang menurut kami cukup cozy berada di tengah hutan. Sempat terpikirkan untuk berhenti saja sampai di situ karena waktu sudah cukup siang sedang kami belum sampai  titik awal pendakian di Curug Citiis. Dulu saya memulai pendakian dari Curug Citiis selepas Dzuhur sedangkan kali ini, hampir Dzuhur kami belum sampai Curug Citiis. Mulai pembicaraan untuk kembali dan merubah rencana ke Gunung Papandayan dan mandi di Pemandian Air Panas Cipanas. Irvan merasa rugi jika harus kembali sekarang, ia mengusulkan agar perjalanan dilanjutkan sampai Curug Citiis saja. Kami menyepakatinya.
Ternyata Curug Citiis tidak terlalu jauh dari warung tempat kami istirahat tadi. Kami beristirahat di salah satu warung di curug sambal menunaikan ibadah solat dulu. Selesai solat dan istirahat kami memulai pendakian yang sesungguhnya. Terjadi diskusi kembali antara kami. Masihkah tetap lanjut maju ke depan atau kembali lagi. Saya yang termasuk sudah sangat kelelahan ingin kembali saja. Tapi tiba-tiba saya ingin membaca cerita perjalanan orang-orang. Semangat kembali datang. Teman-teman saya keheranan, tapi mereka setuju untuk lanjut saja.
 Terdapat dua jalur dari Curug Citiis, satu lurus menaiki jalanan berbatu besar dan terjal melewati pos 3, sebagai sumber air terakhir di Guntur dan satu belok ke kiri menuju jalan landai nan gersang menuju langsung ke puncak Guntur. Kami memilih jalur berbelok ke kiri. Pilihan kami ternyata kurang tepat. Sinar matahari yang panas langsung menyerang kami, jalanan berbatu pasir yang cukup besar merupakan medan yang sulit. Kelandaian pun hanya beberapa ratus meter, nyatanya kami dihadapkan pada jalanan sekitar hampir 40-45 derajat. Rasa ragu kembali menyelimuti kelompok kami. Merasa salah jalan dan jalan yang dilalui terlampau berat, namun kami tetap terus berjalan. Dari kejauhan tampak pos 3 begitu ramai di seberang sana.
Waktu sudah hampir pukul 02.00 siang, kami beristirahat dan makan siang terlebih dulu. Saya yang sangat mengantuk memilih tidur saja dulu dengan posisi miring 45 derajat. Entah berapa lama saya tidur, kami melanjutkan perjalanan.
Beberapa meter kami berjalan kembali, kami bertemu rombongan dari Depok berjumlah 13 orang. Kami kemudian berjalan berbarengan dengan mereka. Berjalan dan beristirahat seperti itulah kami terus maju ke depan. Hingga pada satu titik di bawah pohon pinus, kami beristirahat cukup lama. Rupanya pohon ini pula yang menjadi titik terakhir kemiringan 45 derajat. Mulai dari sini ke atas, kemiringan bias hampir 60 derajat. Dimana medan yang cukup curam tersebut mesti dilalui dengan jalanan berbatu dan pasir yang sulit. Kami berpisah dengan rombongan Depok dan berjalan lagi. Beberapa meter di atas kami, kami bertemu lagi dengan rombongan dari Jakarta dan rombongan lainnya yang kebanyakan adalah perempuan. Sungguh perempuan-perempuan yang tangguh. Mereka agak kesulitan melewati jalanan berpasir. Baru satu langkah sudah merosot turun lagi. Bahu membahu dan tolong menolong terjadi di antara kami.
Helmy pun terlibat dalam suasana yang cukup menyibukan tersebut. Dan kesempatan menolong yang didapatnya tidak dia sia-siakan dengan memegang tangan dua orang pendaki perempuan. Tidak hanya sekali bahkan sampai 4 kali. Tentu ini menjadi bahan bully saya dan Irvan kepada Helmy. Hahahaha. Setelah selesai segala ke-hectic-an tersebut, Helmy malah mengalami kram di kaki. Saya yang tadinya begitu pesimis untuk bisa menuju puncak malah menjadi bersemangat. Rombongan besar berpindah jalur ke sebelah kanan. Kami bertiga masih tetap lurus di jalur ini. Sudah pukul 05.00 tapi kami belum sampai puncak 1, padahal sudah terlihat dari jauh. Kami berlomba dengan gelap, karena kami hanya membawa senter satu buah saja. Alhamdulillah kami sampai Puncak 1 sebelum matahari benar-benar tenggelam. Irvan sampai terlebih dahulu, disusul saya dan terakhir Helmy yang sangat kesusahan untuk sampai ke Puncak 1.
Sementara Helmy beristirahat, saya dan Irvan mencari lapak untuk mendirikan tenda. Setelah beberapa menit berkeliling akhirnya kami mendapat lapak. Saya dan Irvan mendirikan tenda, setelah selesai saya menjemput Helmy. Puncak 1 sudah gelap dan tenda kami belum sempurna berdiri. Kami menyelesaikannya kemudian beres-beres sambal membersihkan diri dan solat. Kami solat bergantian karena terbatasnya ruang di area tenda. Irvan solat terlebih dahulu sementara saya dan Helmy mengobrol di dalam tenda. Karena sedikit masuk angin, tenda kami “sering berbunyi gas”. Tenda tetangga yang sedang solat berjamaah sontak tertawa saat mendengar ‘’bunyi gas’’ tersebut. Saya dan Helmy pun tertawa dan merasa agak bersalah karena hal tersebut.
Menjelang pukul 8.30 malam kami belum menyiapkan makan malam. Perut sudah mulai lapar karena terakhir diisi saat perjalanan tadi sekitar pukul 2 siang. Kami memasak spaghetti. Iya karena tidak ada yang mau masak, akhirnya saya lagi yang masak. Saat sedang memasak tersebut, datang beberapa orang meminta pertolongan karena teman-temannya yang berjumlah 9 orang belum sampai juga di Puncak 1. Menurut salah satu dari mereka, 9 orang tersebut kelelahan dan berada di jalur yang sangat terjal. Berhubung kami belum makan dan persediaan senter kami cuma 1, dengan menyesal kami menolaknya. Kami takut malah kami yang harus nanti ditolong jika memaksakan diri. Beruntung mereka mengerti dan tenda-tenda lain ada yang bersedia membantu. Maafkan kami.
Selesai makan, kami berencana untuk segera tidur agar besok tidak kesiangan melihat matahari terbit. Namun sebelum tidur kami berbincang-bincang terlebih dahulu tentang kehidupan kami. Saling bercerita dan menguatkan segala keluh kesah kami. Sudah menjadi kegiatan rutin kami untuk membuang segala kotoran dalam pikiran kami di alam. Kami percaya bahwa sesungguhnya alam adalah tempat sampah bagi pikiran, tapi bukan tempat sampah fisik yang selama ini mengotori jalur bahkan puncak gunung. Alam senantiasa menetralisir segala pikiran negatif kami. Entah mengapa kami selalu merasa fresh jika sudah berkeluh kesah di alam.
Sambil mengobrol, kami akhirnya tertidur dalam balutan sleeping bag yang hangat. Salah satu keajaiban di Gunung Guntur ialah tanahnya tidak dingin seperti gunung-gunung lain. Mungkin karena kami mendirikan tenda di dekat area kawah. Meski hanya matras tipis tapi membuat dingin. Malam semakin larut, awan-awan yang menutupi langit mulai berlarian entah kemana. Bulan yang sedang purnama begitu cantiknya ditemani kerlap-kerlip bintang di kejauhan. Subhanallah. Allahu Akbar. Sungguh keindahan alam ciptaan Allah yang sangat luar biasa. Kami terbangun sekitar pukul 2 dini hari karena angina berhembus sangat kencang. Jas hujan yang kami jadikan flysheet hampir terbang. Saya bangkit dan keluar untuk mengamankan jas hujan tersebut. Setelah tidak ada barang yang mungkin terbang tertiup angina lagi, kami melanjutkan tidur. Sekitar pukul 4 subuh kami bangun dan melihat lautan awan sudah ada di bawah tanah yang kami pijak. Luar biasa.
Pukul 4 subuh memang masih gelap, namun keindahan alam di kegelapan sungguh menakjubkan. Beberapa hal memang tidak bisa diabadikan oleh lensa kamera. Dan mata ciptaan Allah ini sungguh suatu nikmat yang luar biasa dapat memandang keindahaan. Alhamdulillah. Bergegas kami solat subuh, kemudian menanti fajar menyingsing. Tenda-tenda lain sudah mulai bangun pula. Ada yang berjalan lagi menuju tempat yang lebih tinggi. Ada yang mulai beres-beres karena akan berpindah tempat tenda. Kami tetap di tempat kami, karena dirasa sudah cukup bagus. Saya berjalan-jalan memutari kawah dan mendapat tempat yang cukup bagus untuk difoto. Matahari pun naik. Semua merasa ketakjuban.
Setelah puas menikmati matahari terbit, kami kembali ke tenda. Berleha-leha tidur-tiduran di dalam tenda sambal mendengarkan lagu. Mengobrol ngaler-ngidul yang tidak ada ujungnya. Kemudian Helmy memasak mie rebus untuk sarapan pagi ini. Mungkin karena mudah, akhirnya dia mau masak untuk kami. Selesai melahap mie rebus, kami kemudian mulai beres-beres. Sekitar pukul 9, kami sudah siap untuk turun ke bawah. Ransel yang kemarin begitu terasa berat, sekarang sudah agak ringan. Walau masih tidak mau untuk membawa satu botol air minum terakhir. Akhirnya sang presiden lah yang membawanya.
Jalan turun tidak kalah sulitnya ketika naik. Turunan yang terjal ditambah jalanan yang berpasir batu membuat kami mudah tergelincir. Awalnya kami salah jalur, jalur yang kami lalui sungguh sulit dan terjal. Karena melihat rombongan lain berada di jalur yang mirip perosotan berbatu, kami menuju ke sana. Jalur perosotan ini lebih mudah dibanding jalur sebelumnya. Kami turun dengan cepat, seperti menggunakan sepatu roda dengan resiko tali sepatu lepas dan batu-batu kecil masuk ke dalam sepatu karena tidak memakai gaiter. Karena sering kehilangan keseimbangan saya sering terjatuh, hasilnya tangan kanan saya agak terkilir.
Cuaca saat itu cukup panas. Seperti kehilangan cairan tubuh begitu cepat, kami kehausan. Sebelum pukul 12 kami sudah berada di pos 1 untuk beristirahat yang cukup lama. Menikmati gorengan dan lontong serta mengisi kembali persediaan air yang sudah habis. Dari pos 1 ke base camp memang tidak terlalu jauh, itu membuat saya ngebut berjalan agar segera sampai ke base camp. Saya sampai ke base camp paling awal. Saya beristirahat dulu sambal menunggu kedua kawan saya. Setelah mereka datang, Irvan langsung mencari angkutan untuk turun ke gerbang desa. Alhamdulillah ada rombongan yang mau menerima kami ikut naik mobil bak terbuka. Kami ikut dengan mereka dan memberi uang terima kasih sebesar 30 ribu rupiah. Lebih murah dibanding membayar ojek saat naik ke base camp. Dari gerbang desa keberuntungan kami masih ada. Mobil elf yang pertama lewat adalah jurusan yang lewat ke Stasiun Cicalengka. Kami diantar ke stasiun dengan mahar 20 ribu rupiah per orang. Jalanan menuju Cicalengka tidak terlalu ramai, hanya ada sedikit buka tutup jalur di daerah Leles, selepas itu lancar. Kami tiba di Stasiun Cicalengka 15 menit sebelum kereta berangkat. Akhirnya selesai juga perjalanan ini saat kami sudah melaju dalam kereta api rel diesel yang cukup kosong saat itu.

Terima kasih kepada Allah SWT, orang tua kami, dan semua pihak yang membantu kelancaran perjalanan ini. Tidak ada gunung yang ditaklukan melainkan berdamai dengan diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar