Satu tahun telah berlalu setelah pendakian terakhir kami ke Gunung Pangrango. Rasa jenuh dan rindu begitu menggebu di hati kami untuk bercumbu kembali dengan alam. Dengan perencanaan yang begitu mendadak, yakni Sabtu, 19 Desember 2015, saya dan kawan-kawan di Sahabat Hikers berkumpul di sebuah food court di bilangan Kopo, Bandung. Adalah saya, “Mr. President” Irvan, “Ustadz” Helmy, dan Mey berkumpul membicarakan rencana ini. Namun sayang sekali Mey tidak bias ikut bergabung dalam keberangkatan kali ini.
Seperti biasa yang menjadi masalah adalah tujuan. Ya acap kali kami
berangkat, tujuan merupakan hal yang selalu penuh dengan perdebatan. Gunung
Slamet di Jawa Tengah menjadi opsi awal kami untuk berangkat. Namun dengan
beberapa pertimbangan, terutama masalah waktu, opsi ini gagal. Kemudian larilah
kami ke Gunung Salak di Sukabumi. Lagi-lagi masalah kebingungan transportasi
yang membuat kami mengurungkan niat menuju ke sana. Berhubung kali ini liburan
panjang yang kemungkinan besar terjadi kemacetan parah di beberapa titik menuju
ke sana. Gunung Ciremai di Kuningan kemudian menjadi salah satu pilihan menarik
untuk di daki, apalagi kali ini Jalur Linggarjati yang menjadi pilihan. Fisik
yang belum siap menjadi hambatan pula untuk kami mendaki gunung ini. Diperparah
dengan hanya 3 personel yang akan berangkat. Akhirnya saya yang memberi usul
untuk ke Gunung Guntur di Garut. Opsi ini yang menjadi kesepakatan bersama pada
kesempatan terakhir sebelum foodcourt ini tutup.
Gunung Guntur di Garut merupakan gunung berapi (in)aktif yang tidak terlalu
tinggi, hanya 2.249 mdpl. Kelebihan gunung ini justru dari jalur pendakian yang
cukup ekstrem dibanding gunung-gunung lainnya. Sejujurnya saya mengusulkan
gunung ini juga karena saya masih penasaran dengan gunung ini. Tahun 2013 lalu
pertama kali saya ke sini, saya merasa saya telah berada di ambang batas
kemampuan saya. Saya hampir menyerah untuk melanjutkan perjalanan, tapi di
akhirnya saya sampai juga ke Puncak 2. Jalur berpasir dan berbatu dengan hampir tidak ada
vegetasi yang tinggi membuat jalur pendakian gunung Guntur merupakan jalur yang
berbahaya. Ditambah kemiringan gunung yang tidak manusiawi, hampir 60 derajat
lebih.
Kelabilan terjadi lagi pada saat menjelang
keberangkatan, Rabu 24 Desember 2015. Rencana awal saya, Irvan dan Helmy akan
berkumpul di Stasiun Bandung pukul 04:00 untuk naik kereta api pertama menuju
Stasiun Cicalengka. Akan tetapi, akhirnya kami berangkat dari Terminal Leuwi
Panjang dikarenakan ya mungkin agak malas juga berangkat subuh sekali. Pukul
05:30 akhirnya kami berangkat menggunakan mobil Elf (bukan peri ya). Mobil
ajaib dengan kapasitas 17-18 orang dijejali dengan lebih dari 20 orang di
dalamnya, tentu sumpek dan lain-lainya. Bahkan di sebelah saya duduk seorang
anak yang mengidap mabuk darat. Beruntung saya tidak ikutan muntah. Hahahaha.
Perjalanan menggunakan mobil Elf ini memakan waktu hampir 3 jam, termasuk
kemacetan di sekitar Rancaekek dan Leles. Akhirnya kami turun di SPBU Tanjung,
tempat yang dekat dari gerbang desa Citiis, titik awal pendakian alias base
camp terakhir.
Sesampainya kami di depan SPBU Tanjung, kami langsung
diserbu oleh tukang ojek yang menawarkan jasanya mengantar ke base camp. Tapi
kami berencana membeli beberapa logistik yang kurang dan juga sarapan dulu.
Para tukang ojek itu akhirnya bubar, meski sepertinya memang masih mengincar
kami. Saya belanja ke sebuah mini market dekat SPBU, dua orang kawan saya ke
toilet di SPBU. Kembali dari belanja, dating seorang supir mobil bak terbuka
menawarkan jasanya. Dua orang teman saya sedang bercakap-cakap dengan 3 orang
dari Jakarta yang juga akan naik ke Guntur. Dengan total 6 orang tentu akan
lebih murah menyewa jasa mobil bak terbuka dengan harga 20 ribu rupiah per
orang disbanding ojek yang belakangan saya ketahui 25 ribu rupiah. Setelah saya
deal dengan sang supir, ojek-ojek tadi menghampiri kami lagi. Dengan nada agak
mengintimidasi, mereka setengah memaksa agar naik ojek saja. Mereka juga
menurunkan harga sewa ojek menjadi 15 ribu. Karena khawatir terjadi keributan
dengan supir mobil bak terbuka, akhirnya saya putuskan tim saya naik ojek saja
dan teman baru kami dari Jakarta naik mobil bak terbuka. Kami berangkat dengan
agak setengah hati dan rasa tidak enak pada supir mobil bak. Ya bisnis seputar
pendakian memanglah sangat menarik. Mulai dari peralatan dan perintilan yang
tergolong mahal hingga ongkos untuk memulai perjalanan, kebanyakan dinaikan
secara sepihak oleh penyedia barang dan jasa karena menurut mereka para pendaki
adalah orang-orang berdompet tebal padahal tidak semuanya.
Sebentar saja kami naik ojek, sekitar 15 menit kami
sudah sampai di base camp rumah ketua RW, Ibu Tati. Ramai pendaki yang sedang
menumpang istirahat di base camp. Kami yang belum sarapan kemudian memesan nasi
dan telor dadar dan juga satu porsi lagi untuk dibungkus sebagai bekal makan
siang. Mr. President sebagai ketua rombongan mendaftarkan diri di pos
pendaftaran sambal menitipkan kartu identitasnya. Setelah cukup makan dan
beristirahat, sekitar pukul 10:00 kami memulai perjalanan dari base camp. Tidak
jauh dari base camp terdapat pos pembayaran PNBP yang dikelola oleh Balai Taman
Nasional. Seingat saya dua tahun lalu tidak ada pungutan apa-apa selain
sumbangan seikhlasnya untuk kas desa.
Perjalanan kemudian dimulai dengan melewati jalanan yang
biasa dilewati truk-truk pengangkut pasir. Dulu sangat ramai hingga bias
terlihat truk-truk berlalu lalang dan kita bias menumpang sampai ke Curug
Citiis. Sepanjang perjalanan yang sungguh gersang dan panas bermandikan peluh,
hanya satu truk yang lewat dan itu pun tidak mau kami tebengi. Hampir satu jam
kami berjalan, akhirnya kami masuk ke dalam hutan yang cukup sejuk dibanding
jalanan tadi. Mulai banyak warung-warung yang berdiri di sekitar jalan hutan.
Kami pun beristirahat cukup lama di salah satu warung yang menurut kami cukup
cozy berada di tengah hutan. Sempat terpikirkan untuk berhenti saja sampai di
situ karena waktu sudah cukup siang sedang kami belum sampai titik awal pendakian di Curug Citiis. Dulu
saya memulai pendakian dari Curug Citiis selepas Dzuhur sedangkan kali ini,
hampir Dzuhur kami belum sampai Curug Citiis. Mulai pembicaraan untuk kembali
dan merubah rencana ke Gunung Papandayan dan mandi di Pemandian Air Panas
Cipanas. Irvan merasa rugi jika harus kembali sekarang, ia mengusulkan agar
perjalanan dilanjutkan sampai Curug Citiis saja. Kami menyepakatinya.
Ternyata Curug Citiis tidak terlalu jauh dari warung
tempat kami istirahat tadi. Kami beristirahat di salah satu warung di curug
sambal menunaikan ibadah solat dulu. Selesai solat dan istirahat kami memulai
pendakian yang sesungguhnya. Terjadi diskusi kembali antara kami. Masihkah
tetap lanjut maju ke depan atau kembali lagi. Saya yang termasuk sudah sangat
kelelahan ingin kembali saja. Tapi tiba-tiba saya ingin membaca cerita
perjalanan orang-orang. Semangat kembali datang. Teman-teman saya keheranan,
tapi mereka setuju untuk lanjut saja.
Terdapat dua
jalur dari Curug Citiis, satu lurus menaiki jalanan berbatu besar dan terjal
melewati pos 3, sebagai sumber air terakhir di Guntur dan satu belok ke kiri
menuju jalan landai nan gersang menuju langsung ke puncak Guntur. Kami memilih
jalur berbelok ke kiri. Pilihan kami ternyata kurang tepat. Sinar matahari yang
panas langsung menyerang kami, jalanan berbatu pasir yang cukup besar merupakan
medan yang sulit. Kelandaian pun hanya beberapa ratus meter, nyatanya kami
dihadapkan pada jalanan sekitar hampir 40-45 derajat. Rasa ragu kembali
menyelimuti kelompok kami. Merasa salah jalan dan jalan yang dilalui terlampau
berat, namun kami tetap terus berjalan. Dari kejauhan tampak pos 3 begitu ramai
di seberang sana.
Waktu sudah hampir pukul 02.00 siang, kami beristirahat
dan makan siang terlebih dulu. Saya yang sangat mengantuk memilih tidur saja
dulu dengan posisi miring 45 derajat. Entah berapa lama saya tidur, kami
melanjutkan perjalanan.
Beberapa meter kami berjalan kembali, kami bertemu
rombongan dari Depok berjumlah 13 orang. Kami kemudian berjalan berbarengan
dengan mereka. Berjalan dan beristirahat seperti itulah kami terus maju ke
depan. Hingga pada satu titik di bawah pohon pinus, kami beristirahat cukup
lama. Rupanya pohon ini pula yang menjadi titik terakhir kemiringan 45 derajat.
Mulai dari sini ke atas, kemiringan bias hampir 60 derajat. Dimana medan yang
cukup curam tersebut mesti dilalui dengan jalanan berbatu dan pasir yang sulit.
Kami berpisah dengan rombongan Depok dan berjalan lagi. Beberapa meter di atas
kami, kami bertemu lagi dengan rombongan dari Jakarta dan rombongan lainnya
yang kebanyakan adalah perempuan. Sungguh perempuan-perempuan yang tangguh.
Mereka agak kesulitan melewati jalanan berpasir. Baru satu langkah sudah
merosot turun lagi. Bahu membahu dan tolong menolong terjadi di antara kami.
Helmy pun terlibat dalam suasana yang cukup menyibukan
tersebut. Dan kesempatan menolong yang didapatnya tidak dia sia-siakan dengan
memegang tangan dua orang pendaki perempuan. Tidak hanya sekali bahkan sampai 4
kali. Tentu ini menjadi bahan bully saya dan Irvan kepada Helmy. Hahahaha.
Setelah selesai segala ke-hectic-an tersebut, Helmy malah mengalami kram di
kaki. Saya yang tadinya begitu pesimis untuk bisa menuju puncak malah menjadi
bersemangat. Rombongan besar berpindah jalur ke sebelah kanan. Kami bertiga
masih tetap lurus di jalur ini. Sudah pukul 05.00 tapi kami belum sampai puncak
1, padahal sudah terlihat dari jauh. Kami berlomba dengan gelap, karena kami
hanya membawa senter satu buah saja. Alhamdulillah kami sampai Puncak 1 sebelum
matahari benar-benar tenggelam. Irvan sampai terlebih dahulu, disusul saya dan
terakhir Helmy yang sangat kesusahan untuk sampai ke Puncak 1.
Sementara Helmy beristirahat, saya dan Irvan mencari
lapak untuk mendirikan tenda. Setelah beberapa menit berkeliling akhirnya kami
mendapat lapak. Saya dan Irvan mendirikan tenda, setelah selesai saya menjemput
Helmy. Puncak 1 sudah gelap dan tenda kami belum sempurna berdiri. Kami
menyelesaikannya kemudian beres-beres sambal membersihkan diri dan solat. Kami
solat bergantian karena terbatasnya ruang di area tenda. Irvan solat terlebih
dahulu sementara saya dan Helmy mengobrol di dalam tenda. Karena sedikit masuk angin,
tenda kami “sering berbunyi gas”. Tenda tetangga yang sedang solat berjamaah
sontak tertawa saat mendengar ‘’bunyi gas’’ tersebut. Saya dan Helmy pun
tertawa dan merasa agak bersalah karena hal tersebut.
Menjelang pukul 8.30 malam kami belum menyiapkan makan
malam. Perut sudah mulai lapar karena terakhir diisi saat perjalanan tadi
sekitar pukul 2 siang. Kami memasak spaghetti. Iya karena tidak ada yang mau
masak, akhirnya saya lagi yang masak. Saat sedang memasak tersebut, datang
beberapa orang meminta pertolongan karena teman-temannya yang berjumlah 9 orang
belum sampai juga di Puncak 1. Menurut salah satu dari mereka, 9 orang tersebut
kelelahan dan berada di jalur yang sangat terjal. Berhubung kami belum makan
dan persediaan senter kami cuma 1, dengan menyesal kami menolaknya. Kami takut
malah kami yang harus nanti ditolong jika memaksakan diri. Beruntung mereka
mengerti dan tenda-tenda lain ada yang bersedia membantu. Maafkan kami.
Selesai makan, kami berencana untuk segera tidur agar
besok tidak kesiangan melihat matahari terbit. Namun sebelum tidur kami
berbincang-bincang terlebih dahulu tentang kehidupan kami. Saling bercerita dan
menguatkan segala keluh kesah kami. Sudah menjadi kegiatan rutin kami untuk
membuang segala kotoran dalam pikiran kami di alam. Kami percaya bahwa
sesungguhnya alam adalah tempat sampah bagi pikiran, tapi bukan tempat sampah
fisik yang selama ini mengotori jalur bahkan puncak gunung. Alam senantiasa
menetralisir segala pikiran negatif kami. Entah mengapa kami selalu merasa
fresh jika sudah berkeluh kesah di alam.
Sambil mengobrol, kami akhirnya tertidur dalam balutan sleeping bag yang hangat. Salah satu
keajaiban di Gunung Guntur ialah tanahnya tidak dingin seperti gunung-gunung
lain. Mungkin karena kami mendirikan tenda di dekat area kawah. Meski hanya
matras tipis tapi membuat dingin. Malam semakin larut, awan-awan yang menutupi
langit mulai berlarian entah kemana. Bulan yang sedang purnama begitu cantiknya
ditemani kerlap-kerlip bintang di kejauhan. Subhanallah. Allahu Akbar. Sungguh
keindahan alam ciptaan Allah yang sangat luar biasa. Kami terbangun sekitar
pukul 2 dini hari karena angina berhembus sangat kencang. Jas hujan yang kami
jadikan flysheet hampir terbang. Saya
bangkit dan keluar untuk mengamankan jas hujan tersebut. Setelah tidak ada
barang yang mungkin terbang tertiup angina lagi, kami melanjutkan tidur.
Sekitar pukul 4 subuh kami bangun dan melihat lautan awan sudah ada di bawah
tanah yang kami pijak. Luar biasa.
Pukul 4 subuh memang masih gelap, namun keindahan alam
di kegelapan sungguh menakjubkan. Beberapa hal memang tidak bisa diabadikan
oleh lensa kamera. Dan mata ciptaan Allah ini sungguh suatu nikmat yang luar
biasa dapat memandang keindahaan. Alhamdulillah. Bergegas kami solat subuh,
kemudian menanti fajar menyingsing. Tenda-tenda lain sudah mulai bangun pula. Ada
yang berjalan lagi menuju tempat yang lebih tinggi. Ada yang mulai beres-beres
karena akan berpindah tempat tenda. Kami tetap di tempat kami, karena dirasa
sudah cukup bagus. Saya berjalan-jalan memutari kawah dan mendapat tempat yang
cukup bagus untuk difoto. Matahari pun naik. Semua merasa ketakjuban.
Setelah puas menikmati matahari terbit, kami kembali ke
tenda. Berleha-leha tidur-tiduran di dalam tenda sambal mendengarkan lagu. Mengobrol
ngaler-ngidul yang tidak ada
ujungnya. Kemudian Helmy memasak mie rebus untuk sarapan pagi ini. Mungkin
karena mudah, akhirnya dia mau masak untuk kami. Selesai melahap mie rebus,
kami kemudian mulai beres-beres. Sekitar pukul 9, kami sudah siap untuk turun
ke bawah. Ransel yang kemarin begitu terasa berat, sekarang sudah agak ringan.
Walau masih tidak mau untuk membawa satu botol air minum terakhir. Akhirnya sang
presiden lah yang membawanya.
Jalan turun tidak kalah sulitnya ketika naik. Turunan
yang terjal ditambah jalanan yang berpasir batu membuat kami mudah tergelincir.
Awalnya kami salah jalur, jalur yang kami lalui sungguh sulit dan terjal.
Karena melihat rombongan lain berada di jalur yang mirip perosotan berbatu,
kami menuju ke sana. Jalur perosotan ini lebih mudah dibanding jalur
sebelumnya. Kami turun dengan cepat, seperti menggunakan sepatu roda dengan
resiko tali sepatu lepas dan batu-batu kecil masuk ke dalam sepatu karena tidak
memakai gaiter. Karena sering kehilangan keseimbangan saya sering terjatuh,
hasilnya tangan kanan saya agak terkilir.
Cuaca saat itu cukup panas. Seperti kehilangan cairan
tubuh begitu cepat, kami kehausan. Sebelum pukul 12 kami sudah berada di pos 1
untuk beristirahat yang cukup lama. Menikmati gorengan dan lontong serta
mengisi kembali persediaan air yang sudah habis. Dari pos 1 ke base camp memang
tidak terlalu jauh, itu membuat saya ngebut berjalan agar segera sampai ke base
camp. Saya sampai ke base camp paling awal. Saya beristirahat dulu sambal menunggu
kedua kawan saya. Setelah mereka datang, Irvan langsung mencari angkutan untuk
turun ke gerbang desa. Alhamdulillah ada rombongan yang mau menerima kami ikut
naik mobil bak terbuka. Kami ikut dengan mereka dan memberi uang terima kasih
sebesar 30 ribu rupiah. Lebih murah dibanding membayar ojek saat naik ke base
camp. Dari gerbang desa keberuntungan kami masih ada. Mobil elf yang pertama
lewat adalah jurusan yang lewat ke Stasiun Cicalengka. Kami diantar ke stasiun
dengan mahar 20 ribu rupiah per orang. Jalanan menuju Cicalengka tidak terlalu
ramai, hanya ada sedikit buka tutup jalur di daerah Leles, selepas itu lancar.
Kami tiba di Stasiun Cicalengka 15 menit sebelum kereta berangkat. Akhirnya
selesai juga perjalanan ini saat kami sudah melaju dalam kereta api rel diesel yang
cukup kosong saat itu.
Terima kasih kepada Allah SWT, orang tua kami, dan semua
pihak yang membantu kelancaran perjalanan ini. Tidak ada gunung yang ditaklukan
melainkan berdamai dengan diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar