Jumat, 01 November 2013

Jika Mereka Cuma Menampar, Maka Saya Akan Mencoba Untuk Meninju

Mahasiswa takut dosen.
Dosen takut rektor.
Rektor takut menteri.
Menteri takut presiden.
Presiden takut mahasiswa.


Sebuah ungkapan yang saya ketahui saat awal-awal masuk kuliah dulu. Mungkin benar adanya demikian pada saat dulu. Lambat laun, ketakutan presiden pada mahasiswa mulai melemah. Hampir tidak ada. Buktinya? Mahasiswa demo panas-panas dan teriak-teriak tidak ada satu pun yang didengar oleh presiden, yang lebih baik mendengar negara asing diseberang sana. Pergerakan mahasiswa sekarang pun tidak semasif zaman akhir orde lama ataupun akhir orde baru. Pergerakan mahasiswa sekarang ya cenderung hanya pada ranah perang pemikiran tanpa ada tindakan nyata (mungkin bagi mereka jago ngebacot kaya di anggota-anggota dewan itu lebih keliatan keren daripada kulit gosong saat turun ke jalanan).
Tentu sikap pergerakan mahasiswa kini tentu sedikit banyak dipengaruhi beberapa hal yang sangat berdekatan dengan mahasiswa itu sendiri. Beberapa hal menjadi akar dari kemunduran pergerakan mahasiswa saat ini. Salah satu yang paling berpengaruh adalah pendidikan di kampus itu sendiri. Sejak kecil, orang tua sudah didoktrin agar memiliki anak yang pintar, yang selalu mendapat nilai bagus, dan  yang selalu duduk di peringkat 10 besar di kelas. Angka-angka yang bersifat kuantatif menjadi patokan seberapa pintar anak mereka. Mereka tidak peduli dengan bagaimana sikap dan watak anak mereka.
Tuntutan agar anak menjadi pintar sungguh sangat membebani sang anak. Bahkan sebagian besar orang tua mengorbankan masa bermain dan bersenang-senang anak dengan memasukan anak mereka ke PAUD atau Playgroup. Dengan dalih usia emas perkembangan anak, bisnis komersialilasi pendidikan pun sudah dimulai dari anak-anak. Tekanan semakin bertambah dengan pealajaran dan tugas sekolah pun diberikan terus menerus hingga si anak tidak punya waktu lagi untuk menikmati waktu senggangnya. Orang tua pun mendukung agar anaknya pintar. Ini terjadi terus berulang dari si anak kecil hingga remaja. Buku-buku pelajaran anak SD pun kini sudah akan menyaingi beratnya buku-buku mahasiswa kedokteran.
Beranjak remaja ada faktor lain yang mempengaruhi anak, yakni gaya hidup. Masa remaja yang meledak-ledak dan penuh dengan spontanitas serta kenakalan khas remaja lainnya telah terkotori pula. Gaya hidup yang sesungguhnya tidak membuat seseorang menjadi keren di mata orang lain. Anak lebih suka untuk ikut arus trend masa kini dan melupakan hal-hal lainnya. Apalagi jika sudah berhubungan dengan lawan jenis, perasaan selalu ingin menjadi pusat perhatian sehingga gaya hidup yang paling up to date pun selalu diikuti demi sang pujaan hati. Entahlah, menurut saya memilih untuk menjadi keren di mata orang lain itu tidaklah keren.
Sang anak remaja pun telah masuk ke dunia mahasiswa. Tekanan dari 2 faktor di atas semakin berat saja. Kurikulum yang sengaja dibuat agar mahasiswa tidak punya cukup waktu dengan dunia kemahasiswaan. Jika ada waktu kosong, itu digunakan pula untuk memenuhi hasrat gaya hidupnya. Ini lah yang akhirnya mendegradasikan semangat pergerakan mahasiswa. Tidak ada lagi pembicaraan hangat mengenai politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Berganti dengan sorakan tawa karena boyband atau girlband kesayangannya akan konser, gosip murah mengenai rumah tangga orang lain atau curhatan-curhatan tidak penting mengenai gadis yang sudah punya pacar.
Lebih tragis lagi, ketika pergerakan mahasiswa bisa berjalan hanya saja dilakoni oleh sedikit sekali orang. Kemudian orang-orang tersebut memiliki motivasi yang sebenarnya tak jauh dari mereka yang mementingkan gaya hidup mereka yaitu menjadi keren. Miris memang tapi ini adalah realita yang terjadi dewasa ini. Ketika mahasiswa terjebak oleh 2 faktor yang berasal dari dalam maupun luar kampus. Hingga pada akhirnya muncullah golongan yang sangat individualis yang hanya mementingkan diri sendiri dan cenderung meremehkan orang lain.
Golongan individualis ini biasanya cuma bisa berkoar-koar di media sosial macam twitter ataupun facebook. Isinya tidak jauh hanya info kegiatan mereka, keinginan mereka, pameran apa yang mereka punya, lagi ada di tempat yang keren, nyinyir orang-orang yang ga sepaham atau menyusahkan mereka dan tetek bengek lainnya agar menjadi keren, sekali lagi keren. Dan realita ini saya saksikan sendiri di kampus saya. Bibit-bibit yang tumbuh di kampus pada akhirnya menjadi para individualis yang sok-sokan membela negara di instansinya. Saya pun tidak akan menyangkal atau mengiyakan jika saya termasuk bagian dari mereka.

“Jangan tanyakan apa yang telah kampus berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kampus ambil darimu.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar