Mahasiswa takut dosen.
Dosen takut rektor.
Rektor takut menteri.
Menteri takut presiden.
Presiden takut mahasiswa.
Sebuah ungkapan yang saya ketahui saat awal-awal masuk kuliah dulu.
Mungkin benar adanya demikian pada saat dulu. Lambat laun, ketakutan presiden
pada mahasiswa mulai melemah. Hampir tidak ada. Buktinya? Mahasiswa demo
panas-panas dan teriak-teriak tidak ada satu pun yang didengar oleh presiden,
yang lebih baik mendengar negara asing diseberang sana. Pergerakan mahasiswa
sekarang pun tidak semasif zaman akhir orde lama ataupun akhir orde baru.
Pergerakan mahasiswa sekarang ya cenderung hanya pada ranah perang pemikiran
tanpa ada tindakan nyata (mungkin bagi mereka jago ngebacot kaya di
anggota-anggota dewan itu lebih keliatan keren daripada kulit gosong saat turun
ke jalanan).
Tentu sikap pergerakan mahasiswa kini tentu sedikit banyak dipengaruhi
beberapa hal yang sangat berdekatan dengan mahasiswa itu sendiri. Beberapa hal
menjadi akar dari kemunduran pergerakan mahasiswa saat ini. Salah satu yang
paling berpengaruh adalah pendidikan di kampus itu sendiri. Sejak kecil, orang
tua sudah didoktrin agar memiliki anak yang pintar, yang selalu mendapat nilai
bagus, dan yang selalu duduk di
peringkat 10 besar di kelas. Angka-angka yang bersifat kuantatif menjadi
patokan seberapa pintar anak mereka. Mereka tidak peduli dengan bagaimana sikap
dan watak anak mereka.
Tuntutan agar anak menjadi pintar sungguh sangat membebani sang anak.
Bahkan sebagian besar orang tua mengorbankan masa bermain dan bersenang-senang
anak dengan memasukan anak mereka ke PAUD atau Playgroup. Dengan dalih usia
emas perkembangan anak, bisnis komersialilasi pendidikan pun sudah dimulai dari
anak-anak. Tekanan semakin bertambah dengan pealajaran dan tugas sekolah pun
diberikan terus menerus hingga si anak tidak punya waktu lagi untuk menikmati
waktu senggangnya. Orang tua pun mendukung agar anaknya pintar. Ini terjadi
terus berulang dari si anak kecil hingga remaja. Buku-buku pelajaran anak SD
pun kini sudah akan menyaingi beratnya buku-buku mahasiswa kedokteran.
Beranjak remaja ada faktor lain yang mempengaruhi anak, yakni gaya
hidup. Masa remaja yang meledak-ledak dan penuh dengan spontanitas serta
kenakalan khas remaja lainnya telah terkotori pula. Gaya hidup yang
sesungguhnya tidak membuat seseorang menjadi keren di mata orang lain. Anak
lebih suka untuk ikut arus trend masa kini dan melupakan hal-hal lainnya.
Apalagi jika sudah berhubungan dengan lawan jenis, perasaan selalu ingin
menjadi pusat perhatian sehingga gaya hidup yang paling up to date pun selalu
diikuti demi sang pujaan hati. Entahlah, menurut saya memilih untuk menjadi
keren di mata orang lain itu tidaklah keren.
Sang anak remaja pun telah masuk ke dunia mahasiswa. Tekanan dari 2
faktor di atas semakin berat saja. Kurikulum yang sengaja dibuat agar mahasiswa
tidak punya cukup waktu dengan dunia kemahasiswaan. Jika ada waktu kosong, itu
digunakan pula untuk memenuhi hasrat gaya hidupnya. Ini lah yang akhirnya
mendegradasikan semangat pergerakan mahasiswa. Tidak ada lagi pembicaraan
hangat mengenai politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Berganti dengan
sorakan tawa karena boyband atau girlband kesayangannya akan konser, gosip
murah mengenai rumah tangga orang lain atau curhatan-curhatan tidak penting
mengenai gadis yang sudah punya pacar.
Lebih tragis lagi, ketika pergerakan mahasiswa bisa berjalan hanya
saja dilakoni oleh sedikit sekali orang. Kemudian orang-orang tersebut memiliki
motivasi yang sebenarnya tak jauh dari mereka yang mementingkan gaya hidup
mereka yaitu menjadi keren. Miris memang tapi ini adalah realita yang terjadi
dewasa ini. Ketika mahasiswa terjebak oleh 2 faktor yang berasal dari dalam
maupun luar kampus. Hingga pada akhirnya muncullah golongan yang sangat
individualis yang hanya mementingkan diri sendiri dan cenderung meremehkan
orang lain.
Golongan individualis ini biasanya cuma bisa berkoar-koar di media
sosial macam twitter ataupun facebook. Isinya tidak jauh hanya info kegiatan
mereka, keinginan mereka, pameran apa yang mereka punya, lagi ada di tempat
yang keren, nyinyir orang-orang yang ga sepaham atau menyusahkan mereka dan
tetek bengek lainnya agar menjadi keren, sekali lagi keren. Dan realita ini
saya saksikan sendiri di kampus saya. Bibit-bibit yang tumbuh di kampus pada
akhirnya menjadi para individualis yang sok-sokan membela negara di
instansinya. Saya pun tidak akan menyangkal atau mengiyakan jika saya termasuk
bagian dari mereka.
“Jangan tanyakan apa yang telah
kampus berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kampus ambil darimu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar