Hampir 2 minggu lebih tulisan ini
menjadi draft dan belum diselesaikan. Saya pikir 1 hari menuju pemilu adalah
saat yang cukup tepat untuk mempublishnya. Tulisan ini bukan mengajak untuk
menjadi golput atau tidak memilih. Sebaliknya saya mengajak kepada yang membaca
untuk merenungi lagi apakah pemilu ini adalah sesuatu yang benar-benar kita
butuhkan atau bukan. Pilihan adalah milik tiap individu. Jika tidak memilih,
tetaplah ke TPS dan awasi serta pastikan suara kita tidak disalahgunakan
pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Hampir bisa dipastikan golput akan
memenangkan kembali pemilu tahun ini seperti gelaran sebelumnya. Mengapa? Ya
karena ada sesuatu yang salah tentunya.
Sistem pemilu di Indonesia
menggunakan sistem kotak suara. Artinya setiap orang berhak memberikan suaranya
kepada partai yang dianggap paling mewakilinya. One man one vote, begitulah
aturannya. Orang-orang yang terpilih dalam pemilu untuk menduduki jabatan
legislatif adalah anggota partai politik yang dipilih masyarakat. Mereka
dianggap mewakili keinginan rakyat yang memilihnya (konstituen). Timbul
pertanyaan benarkah demikian?
Ditilik dari pelaksanaan
demokrasi demikian, maka dapat ditentukan jika Indonesia menganut sistem
demokrasi perwakilan. Artinya lembaga legislatif dianggap mewakili rakyat. Tapi
sekali lagi timbul pertanyaan, rakyat yang mana? Rakyat yang memilih? Apakah
golput juga? Fenomena jumlah golput yang selalu menang di tiap pemilu
seharusnya menggugah rakyat Indonesia untuk berpikir apakah ada yang salah
dengan sistem demokrasi ini.
Melihat sejarah ke belakang,
bangsa ini lahir dengan sebuah gagasan utama bernama Pancasila. Pancasila
terdiri dari lima sila yang masing-masing menjadi tujuan utama negara ini
berdiri. Demokrasi juga menjadi tujuan utama negara ini. Lalu bagaimanakah
demokrasi yang diinginkan oleh Pancasila tercipta di Indonesia? Sila keempat
yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”.
Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan artinya negara ini mencita-citakan sebuah demokrasi
kerakyatan yang dipimpin oleh suatu kesadaran yang netral tanpa pengaruh
kepentingan-kepentingan lain dan juga rasa empati serta suatu toleransi yang
dapat diterima semua golongan. Proses demokrasi yang diinginkan tersebut ialah
dalam suatu permusyawaratan yang benar-benar menghimpun semua kepentingan tiap
komponen bangsa untuk mencapai suatu keputusan yang mufakat atau bulat. Artinya
keputusan yang dibuat dapat diterima oleh semua komponen. Karena wilayah
Indonesia yang luas, alternatif “perwakilan” dipergunakan untuk memudahkan
proses permusyawaratan tersebut. Lambang dari sila keempat ini juga adalah
kepala banteng yang memiliki makna filosofis jika banteng adalah makhluk yang
senang berkumpul.
Meski tafsiran di atas adalah
hanyalah sebuah pendapat yang artinya mungkin saja salah, saya yakin jika bapak
bangsa pendahulu berpikiran tidak jauh dari sana. Mengapa demikian? Saya kira
ketika peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928 terjadi, di sana hadir dari berbagai
komunitas kedaerahan yang dianggap mewakili tiap daerah untuk membulatkan tekad
perjuangan bangsa. Inilah bentuk bagaimana permusyawaratan/perwakilan
benar-benar terjadi sehingga melahirkan sebuah momen menuju kemerdekaan. Bisa
dikatakan juga jika permusyawaratan adalah ciri khas bangsa Indonesia.
Apakah sama demokrasi kotak suara
dan demokrasi permusyawaratan/perwakilan? Saya pikir tidak. Jika dilihat
mungkin tampak sama atau satu adalah bagian dari yang lain, tapi sebenarnya
berbeda. Demokrasi kotak suara artinya siapa yang memiliki suara terbanyak dia
yang menang. Demokrasi kotak suara adalah sebuah kepesimisan. Sebuah kontra
demokrasi sebenarnya. Disini peran mayoritas sangat menentukan atau bisa
dikatakan terjadi dominasi mayoritas. Lantas bagaimana dengan pihak yang kalah
(minoritas)? Mereka menyebut diri mereka sebagai oposisi. Menurut saya pribadi,
dalam demokrasi yang dicita-citakan Pancasila tidak akan ada yang namanya
oposisi. Mengapa? Karena tujuan utama demokrasi di Indonesia adalah tercapainya
mufakat yang artinya semua memiliki tujuan yang sama tanpa ada pihak yang
merasa menjadi lawan dari keputusan. Sistem kotak suara sesungguhnya telah
menggiring Indonesia untuk keluar dari jalur Pancasila menuju sistem voting
yang lumrah digunakan di negara-negara barat.
Lantas bagaimana seharusnya
demokrasi diterjemahkan? Dari kacamata saya, sistem one man one vote tidaklah
sepenuhnya salah. Hanya saja menurut saya satu orang legislator tidak mungkin
bisa mewakili sekian ribu suara. Hanya tiap-tiap individulah yang bisa mewakili
diri masing-masing. Bagi saya sendiri ini adalah sebuah pelanggaran terhadap
hak kemerdekaan saya karena tidak semua kepentingan saya bisa diwakilkan pada
satu pihak. Demokrasi perwakilan yang terjadi harusnya tetap bersifat terbatas.
Artinya rakyat berhak pula bersuara jika perwakilannya tidak sejalan lagi.
Namun, selama sistem perwakilan dipegang oleh partai politik terutama partai
kader hal tersebut tidak akan terjadi. Partai politik cenderung tetap
memelihara situasi dimana rakyat dianggap telah mendelegasikan nasibnya pada
mereka sehingga proses politik seperti apapun tidak boleh ada intervensi dari
rakyat. “Suara rakyat telah diambil, tidak boleh lagi bersuara” begitulah
kurang lebih tafsir demokrasi perwakilan di Indonesia. Nah bagaimana dengan
golput? Suara mereka tetap ada, seharusnya mereka lah yang berhak bersuara jika
para legislator tidak sesuai dengan fungsinya. Lagi-lagi stigma negatif
terhadap golput membuat peran ini menjadi terlupakan.
Sebuah model bernama demokrasi
langsung sesungguhnya lebih mencerminkan demokrasi permusyawaratan/perwakilan.
Bagaimana demokrasi langsung bisa berjalan? Sungguh keanehan bagi saya ketika
kepesimisan muncul saat disebutkan demokrasi langsung. Dianggap tidak relevan
dan cakupan wilayah Indonesia yang luas tidak mungkin diterapkan. Sadarlah
argumen tersebut hanyalah akal-akalan para elit untuk tetap memelihara situasi
seperti saat ini. Demokrasi langsung dapat diterapkan dimana saja bahkan untuk
seluruh dunia sekalipun. Dalam demokrasi langsung terdapat delegasi atau
perwakilan dari komunitas-komunitas yang memiliki kepentingan yang sama.
Berbeda dengan legislator dalam demokrasi kotak suara, deligasi tersebut tidak
punya hak untuk menentukan nasib suara yang diwakilinya bahkan komunitas berhak
menarik atau mengganti delegasi tersebut kapan saja. Dalam demokrasi kotak
suara, partai politik hanyalah elit yang menganggap segala kekuasaan rakyat
telah diterima olehnya.
Kini pilihan untuk memilih ada
ditangan masing-masing. Hanya saja sekali lagi saya hanya mengingatkan jika
tidak akan memilih pastikan suara kita tidak disalahgunakan. Menjadi golput
adalah sebuah perlawanan. Dipilih atau tidak ya yang menang pemilu tetap
pemerintah.
*kalo masih bingung setidaknya pas jalan ke TPS sambil dengerin ini
https://archive.org/details/VAMemobilisasiKemuakan2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar