Selasa, 08 April 2014

Demokrasi: (Seharusnya) Suara yang (Tidak) Diambil

Hampir 2 minggu lebih tulisan ini menjadi draft dan belum diselesaikan. Saya pikir 1 hari menuju pemilu adalah saat yang cukup tepat untuk mempublishnya. Tulisan ini bukan mengajak untuk menjadi golput atau tidak memilih. Sebaliknya saya mengajak kepada yang membaca untuk merenungi lagi apakah pemilu ini adalah sesuatu yang benar-benar kita butuhkan atau bukan. Pilihan adalah milik tiap individu. Jika tidak memilih, tetaplah ke TPS dan awasi serta pastikan suara kita tidak disalahgunakan pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Hampir bisa dipastikan golput akan memenangkan kembali pemilu tahun ini seperti gelaran sebelumnya. Mengapa? Ya karena ada sesuatu yang salah tentunya.

Sistem pemilu di Indonesia menggunakan sistem kotak suara. Artinya setiap orang berhak memberikan suaranya kepada partai yang dianggap paling mewakilinya. One man one vote, begitulah aturannya. Orang-orang yang terpilih dalam pemilu untuk menduduki jabatan legislatif adalah anggota partai politik yang dipilih masyarakat. Mereka dianggap mewakili keinginan rakyat yang memilihnya (konstituen). Timbul pertanyaan benarkah demikian?
Ditilik dari pelaksanaan demokrasi demikian, maka dapat ditentukan jika Indonesia menganut sistem demokrasi perwakilan. Artinya lembaga legislatif dianggap mewakili rakyat. Tapi sekali lagi timbul pertanyaan, rakyat yang mana? Rakyat yang memilih? Apakah golput juga? Fenomena jumlah golput yang selalu menang di tiap pemilu seharusnya menggugah rakyat Indonesia untuk berpikir apakah ada yang salah dengan sistem demokrasi ini.
Melihat sejarah ke belakang, bangsa ini lahir dengan sebuah gagasan utama bernama Pancasila. Pancasila terdiri dari lima sila yang masing-masing menjadi tujuan utama negara ini berdiri. Demokrasi juga menjadi tujuan utama negara ini. Lalu bagaimanakah demokrasi yang diinginkan oleh Pancasila tercipta di Indonesia? Sila keempat yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan artinya negara ini mencita-citakan sebuah demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh suatu kesadaran yang netral tanpa pengaruh kepentingan-kepentingan lain dan juga rasa empati serta suatu toleransi yang dapat diterima semua golongan. Proses demokrasi yang diinginkan tersebut ialah dalam suatu permusyawaratan yang benar-benar menghimpun semua kepentingan tiap komponen bangsa untuk mencapai suatu keputusan yang mufakat atau bulat. Artinya keputusan yang dibuat dapat diterima oleh semua komponen. Karena wilayah Indonesia yang luas, alternatif “perwakilan” dipergunakan untuk memudahkan proses permusyawaratan tersebut. Lambang dari sila keempat ini juga adalah kepala banteng yang memiliki makna filosofis jika banteng adalah makhluk yang senang berkumpul.
Meski tafsiran di atas adalah hanyalah sebuah pendapat yang artinya mungkin saja salah, saya yakin jika bapak bangsa pendahulu berpikiran tidak jauh dari sana. Mengapa demikian? Saya kira ketika peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928 terjadi, di sana hadir dari berbagai komunitas kedaerahan yang dianggap mewakili tiap daerah untuk membulatkan tekad perjuangan bangsa. Inilah bentuk bagaimana permusyawaratan/perwakilan benar-benar terjadi sehingga melahirkan sebuah momen menuju kemerdekaan. Bisa dikatakan juga jika permusyawaratan adalah ciri khas bangsa Indonesia.
Apakah sama demokrasi kotak suara dan demokrasi permusyawaratan/perwakilan? Saya pikir tidak. Jika dilihat mungkin tampak sama atau satu adalah bagian dari yang lain, tapi sebenarnya berbeda. Demokrasi kotak suara artinya siapa yang memiliki suara terbanyak dia yang menang. Demokrasi kotak suara adalah sebuah kepesimisan. Sebuah kontra demokrasi sebenarnya. Disini peran mayoritas sangat menentukan atau bisa dikatakan terjadi dominasi mayoritas. Lantas bagaimana dengan pihak yang kalah (minoritas)? Mereka menyebut diri mereka sebagai oposisi. Menurut saya pribadi, dalam demokrasi yang dicita-citakan Pancasila tidak akan ada yang namanya oposisi. Mengapa? Karena tujuan utama demokrasi di Indonesia adalah tercapainya mufakat yang artinya semua memiliki tujuan yang sama tanpa ada pihak yang merasa menjadi lawan dari keputusan. Sistem kotak suara sesungguhnya telah menggiring Indonesia untuk keluar dari jalur Pancasila menuju sistem voting yang lumrah digunakan di negara-negara barat.
Lantas bagaimana seharusnya demokrasi diterjemahkan? Dari kacamata saya, sistem one man one vote tidaklah sepenuhnya salah. Hanya saja menurut saya satu orang legislator tidak mungkin bisa mewakili sekian ribu suara. Hanya tiap-tiap individulah yang bisa mewakili diri masing-masing. Bagi saya sendiri ini adalah sebuah pelanggaran terhadap hak kemerdekaan saya karena tidak semua kepentingan saya bisa diwakilkan pada satu pihak. Demokrasi perwakilan yang terjadi harusnya tetap bersifat terbatas. Artinya rakyat berhak pula bersuara jika perwakilannya tidak sejalan lagi. Namun, selama sistem perwakilan dipegang oleh partai politik terutama partai kader hal tersebut tidak akan terjadi. Partai politik cenderung tetap memelihara situasi dimana rakyat dianggap telah mendelegasikan nasibnya pada mereka sehingga proses politik seperti apapun tidak boleh ada intervensi dari rakyat. “Suara rakyat telah diambil, tidak boleh lagi bersuara” begitulah kurang lebih tafsir demokrasi perwakilan di Indonesia. Nah bagaimana dengan golput? Suara mereka tetap ada, seharusnya mereka lah yang berhak bersuara jika para legislator tidak sesuai dengan fungsinya. Lagi-lagi stigma negatif terhadap golput membuat peran ini menjadi terlupakan.
Sebuah model bernama demokrasi langsung sesungguhnya lebih mencerminkan demokrasi permusyawaratan/perwakilan. Bagaimana demokrasi langsung bisa berjalan? Sungguh keanehan bagi saya ketika kepesimisan muncul saat disebutkan demokrasi langsung. Dianggap tidak relevan dan cakupan wilayah Indonesia yang luas tidak mungkin diterapkan. Sadarlah argumen tersebut hanyalah akal-akalan para elit untuk tetap memelihara situasi seperti saat ini. Demokrasi langsung dapat diterapkan dimana saja bahkan untuk seluruh dunia sekalipun. Dalam demokrasi langsung terdapat delegasi atau perwakilan dari komunitas-komunitas yang memiliki kepentingan yang sama. Berbeda dengan legislator dalam demokrasi kotak suara, deligasi tersebut tidak punya hak untuk menentukan nasib suara yang diwakilinya bahkan komunitas berhak menarik atau mengganti delegasi tersebut kapan saja. Dalam demokrasi kotak suara, partai politik hanyalah elit yang menganggap segala kekuasaan rakyat telah diterima olehnya.
Kini pilihan untuk memilih ada ditangan masing-masing. Hanya saja sekali lagi saya hanya mengingatkan jika tidak akan memilih pastikan suara kita tidak disalahgunakan. Menjadi golput adalah sebuah perlawanan. Dipilih atau tidak ya yang menang pemilu tetap pemerintah.


*kalo masih bingung setidaknya pas jalan ke TPS sambil dengerin ini
https://archive.org/details/VAMemobilisasiKemuakan2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar