Episode
dua ini adalah kesempatan kedua saya untuk menjejaki tanah di gunung Cikuray.
Kali ini saya berjalan bersama teman-teman SMK saya yang aktif berkegiatan di
Rumah Belajar (Rubel) Cimahi. Tim ini terdiri dari saya, Helmy, Irvan, Fajar,
Iso, Anu, Fahmi, Andhi, Emmy dan Boyen. Awalnya saya dan Helmy berinisiatif
untuk kembali ke Cikuray pasca lebaran, tepatnya di awal September. Jodoh pun
bersambut Fajar dan teman-teman di Rubel pun memiliki acara yang sama, maka
kenapa tidak jika kami berbarengan berangkat ke Cikuray. Irvan yang merupakan
teman SMK satu jurusan berlainan kelas mendengar kabar rencana kami dan dia
meminta untuk ikut. Saya iyakan saja padahal kapasitas tenda yang kami bawa
kurang mencukupi untuk 9 orang dan ini ditambah 1 orang lagi.
Beberapa hari sebelum berangkat
saya, Fajar, Anu dan Iso melakukan rapat kecil untuk mempersiapkan hal-hal yang
berhubungan dengan perjalanan nanti. Sempat terjadi kisruh kecil mengenai
keberangkatan. Namun akhirnya terselesaikan pada saat menjelang keberangkatan.
Saya berhasil menyewa satu angkot dari Bandung sampai ke Plang Dayeuhmanggung.
Kebetulan saya kenal dengan pemilik dan sopir angkot tersebut. Lumayan
penghematan. Apalagi nanti pulangnya (saya rahasiakan dulu nanti di bawah
ceritanya). Maka berangkatlah kami dengan start dari Rubel.
Perjalanan dari Bandung pukul 11
malam disambut dengan macetnya jalan tol menuju Cileunyi. Setibanya di Garut
kami berhenti sebentar untuk menjemput Fahmi yang memang adalah asli Garut dan
sedang pulang ke rumahnya. Kami pun melanjutkan perjalanan dan tiba di desa
Dayeuhmanggung pukul 1:30 dini hari. Kami berkumpul di sebuah pos ronda.
Beberapa di antara kami ada yang ke mesjid dulu untuk salat Isya dan ada juga
yang melakukan persiapan karena kami ke Pemancar tidak menggunakan kendaraan
alias jalan kaki.
Kami mulai berjalan ke arah
perkebunan dan sampailah kami di pos satpam perkebunan. Kami lapor dengan
menyerahkan uang 3000 rupiah per orang dan menitipkan KTP. Perjalanan kami
mulai. Beberapa ratus meter sekali kami istirahat. Pemandangan perkebunan teh di
malam hari juga tak kalah menakjubkan apalagi saat itu sedang terang bulan.
Bulan purnama menjadi teman perjalanan kami melintasi perkebunan ini. Sampai di
suatu persimpangan, kami salah memilih jalan menuju Pemancar. Jalan yang kami
lalui seolah-olah menuju Pemancar padahal tidak. Kami berkeliling mencari jalur
yang benar. Sampai adzan Subuh berkumandang kami sudah benar-benar hopeless hingga kami putuskan salat dulu
dan menunggu matahari terbit atau ada orang yang bisa ditanyai.
Akhirnya setelah matahari terbit
jalan yang benar mulai tampak. Kami bertanya ke beberapa petani yang kami
jumpai di jalan. Akhirnya kami mendekati Pemancar tapi terhalang oleh satu
lembah lagi. Lembah yang sangat curam. Beruntung Kang Asep di pos lapor melihat
kami dan memberi isyarat ke jalan yang benar. Pukul 9:00 akhirnya kami sampai
di Pemancar. Kami pun istirahat, ada yang tidur karena kelelahan belum tidur
dan ada yang masak karena lapar. Kami beristirahat di halaman Pemancar milik
salah satu stasiun televisi. Udara dingin tapi sinar matahari begitu membakar.
Setelah salat Dzuhur kami memutuskan untuk memulai pendakian.
Cuaca yang panas karena masih
musim kemarau membuat perjalanan kali ini agak berat. Persediaan air yang tipis
membuat kami harus benar-benar berhemat karena tak ada sumber air lagi.
Beberapa kali kami beristirahat lama. Hingga puncaknya kami kemalaman di
perjalanan. Menjelang Pos IV beberapa di antara kami sudah kelelahan. Bahkan
ada yang mengajak untuk bermalam di sana dan pulang langsung. Tapi saya
memaksakan mereka untuk terus berjalan. Sekitar pukul 00:00 kami tiba di Pos VI
atau puncak bayangan. Beruntung masih ada lahan untuk 2 tenda. Kami bersegera
mendirikan tenda untuk istirahat.
Setelah tenda terpasang beberapa
di antara kami, termasuk saya, langsung tidur karena lelah dan persiapan muncak
nanti subuh dan sisanya masih ada yang menghangatkan diri di perapian. Rencana
tinggal rencana. Padahal sudah memasang alarm jam 04:00 tapi terlambat 30
menit. Buru-buru saya bangunkan yang lain. Tapi kelihatanya kebanyakan lelah
jadi membuat saya tidak tega. Ditambah ternyata di kedua tenda yang ada hanya 6
orang yang tidur di dalam tenda. Sisanya tidur dalam balutan sleeping bag di
luar tenda. Akhirnya saya, Helmy, Irvan dan Andhi yang pergi untuk sunrise attack.
Beberapa menit sebelum matahari
terbit kami sudah tiba di Puncak Cikuray. Kondisi saat itu lumayan tidak
terlalu ramai. Di bawah puncak sudah terlihat banyak awan yang berkumpul.
Detik-detik matahari muncul merupakan momen spesial yang disuguhkan di pendakian
kali ini. Setelah puas berfoto ria kami turun ke camp. Setelah tiba kami bercerita dan cerita tersebut ternyata
memberika semangat bagi teman-teman yang lain. Akhirnya mereka pergi muncak
juga dan kami berempat tinggal di tenda untuk memasak. Tak terlalu lama mereka
yang muncak pun turun saat makanan sudah siap. Dengan lahap kami manyantap
makanan yang kami masak. Kemudian beres-beres dan turun gunung pukul 10:00.
Perjalanan turun cukup cepat dan
melelahkan karena tipisnya persediaan air. Tepat sampai pemancar persediaan
habis. Karena sudah cukup kelelahan kami pun memesan ojek untuk mengangkut kami
ke portal depan pos satpam perkebunan. Beristirahat di pos satpam, kami
membersihakan diri dan juga solat sambil menunggu angkot sewaan kami tiba dari
Bandung. Ternyata perjalanan angkot dari Bandung terhambat macet sehingga baru
tiba selepas Magrib. Tanpa basa-basi kami langsung berangkat pulang. Di tengah
perjalanan pulang untuk mengantar Fahmi ke rumahnya tercetus ide untuk berendam
air panas di kolam pemandian Darajat. Sebuah bonus yang sangat istimewa setelah
berlelah-lelah kemudian berendam air panas. Dan bonus pun ditambah dengan
santapan nasi padang hangat di akhir perjalana pulang menuju Bandung. (bersambung
ke Episode Tiga)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar