Senin, 10 Juni 2013

Cikuray Dalam Tiga Episode (Episode Dua)



Episode dua ini adalah kesempatan kedua saya untuk menjejaki tanah di gunung Cikuray. Kali ini saya berjalan bersama teman-teman SMK saya yang aktif berkegiatan di Rumah Belajar (Rubel) Cimahi. Tim ini terdiri dari saya, Helmy, Irvan, Fajar, Iso, Anu, Fahmi, Andhi, Emmy dan Boyen. Awalnya saya dan Helmy berinisiatif untuk kembali ke Cikuray pasca lebaran, tepatnya di awal September. Jodoh pun bersambut Fajar dan teman-teman di Rubel pun memiliki acara yang sama, maka kenapa tidak jika kami berbarengan berangkat ke Cikuray. Irvan yang merupakan teman SMK satu jurusan berlainan kelas mendengar kabar rencana kami dan dia meminta untuk ikut. Saya iyakan saja padahal kapasitas tenda yang kami bawa kurang mencukupi untuk 9 orang dan ini ditambah 1 orang lagi.

Beberapa hari sebelum berangkat saya, Fajar, Anu dan Iso melakukan rapat kecil untuk mempersiapkan hal-hal yang berhubungan dengan perjalanan nanti. Sempat terjadi kisruh kecil mengenai keberangkatan. Namun akhirnya terselesaikan pada saat menjelang keberangkatan. Saya berhasil menyewa satu angkot dari Bandung sampai ke Plang Dayeuhmanggung. Kebetulan saya kenal dengan pemilik dan sopir angkot tersebut. Lumayan penghematan. Apalagi nanti pulangnya (saya rahasiakan dulu nanti di bawah ceritanya). Maka berangkatlah kami dengan start dari Rubel.
Perjalanan dari Bandung pukul 11 malam disambut dengan macetnya jalan tol menuju Cileunyi. Setibanya di Garut kami berhenti sebentar untuk menjemput Fahmi yang memang adalah asli Garut dan sedang pulang ke rumahnya. Kami pun melanjutkan perjalanan dan tiba di desa Dayeuhmanggung pukul 1:30 dini hari. Kami berkumpul di sebuah pos ronda. Beberapa di antara kami ada yang ke mesjid dulu untuk salat Isya dan ada juga yang melakukan persiapan karena kami ke Pemancar tidak menggunakan kendaraan alias jalan kaki.
Kami mulai berjalan ke arah perkebunan dan sampailah kami di pos satpam perkebunan. Kami lapor dengan menyerahkan uang 3000 rupiah per orang dan menitipkan KTP. Perjalanan kami mulai. Beberapa ratus meter sekali kami istirahat. Pemandangan perkebunan teh di malam hari juga tak kalah menakjubkan apalagi saat itu sedang terang bulan. Bulan purnama menjadi teman perjalanan kami melintasi perkebunan ini. Sampai di suatu persimpangan, kami salah memilih jalan menuju Pemancar. Jalan yang kami lalui seolah-olah menuju Pemancar padahal tidak. Kami berkeliling mencari jalur yang benar. Sampai adzan Subuh berkumandang kami sudah benar-benar hopeless hingga kami putuskan salat dulu dan menunggu matahari terbit atau ada orang yang bisa ditanyai.
Akhirnya setelah matahari terbit jalan yang benar mulai tampak. Kami bertanya ke beberapa petani yang kami jumpai di jalan. Akhirnya kami mendekati Pemancar tapi terhalang oleh satu lembah lagi. Lembah yang sangat curam. Beruntung Kang Asep di pos lapor melihat kami dan memberi isyarat ke jalan yang benar. Pukul 9:00 akhirnya kami sampai di Pemancar. Kami pun istirahat, ada yang tidur karena kelelahan belum tidur dan ada yang masak karena lapar. Kami beristirahat di halaman Pemancar milik salah satu stasiun televisi. Udara dingin tapi sinar matahari begitu membakar. Setelah salat Dzuhur kami memutuskan untuk memulai pendakian.
Cuaca yang panas karena masih musim kemarau membuat perjalanan kali ini agak berat. Persediaan air yang tipis membuat kami harus benar-benar berhemat karena tak ada sumber air lagi. Beberapa kali kami beristirahat lama. Hingga puncaknya kami kemalaman di perjalanan. Menjelang Pos IV beberapa di antara kami sudah kelelahan. Bahkan ada yang mengajak untuk bermalam di sana dan pulang langsung. Tapi saya memaksakan mereka untuk terus berjalan. Sekitar pukul 00:00 kami tiba di Pos VI atau puncak bayangan. Beruntung masih ada lahan untuk 2 tenda. Kami bersegera mendirikan tenda untuk istirahat.
Setelah tenda terpasang beberapa di antara kami, termasuk saya, langsung tidur karena lelah dan persiapan muncak nanti subuh dan sisanya masih ada yang menghangatkan diri di perapian. Rencana tinggal rencana. Padahal sudah memasang alarm jam 04:00 tapi terlambat 30 menit. Buru-buru saya bangunkan yang lain. Tapi kelihatanya kebanyakan lelah jadi membuat saya tidak tega. Ditambah ternyata di kedua tenda yang ada hanya 6 orang yang tidur di dalam tenda. Sisanya tidur dalam balutan sleeping bag di luar tenda. Akhirnya saya, Helmy, Irvan dan Andhi yang pergi untuk sunrise attack.
Beberapa menit sebelum matahari terbit kami sudah tiba di Puncak Cikuray. Kondisi saat itu lumayan tidak terlalu ramai. Di bawah puncak sudah terlihat banyak awan yang berkumpul. Detik-detik matahari muncul merupakan momen spesial yang disuguhkan di pendakian kali ini. Setelah puas berfoto ria kami turun ke camp. Setelah tiba kami bercerita dan cerita tersebut ternyata memberika semangat bagi teman-teman yang lain. Akhirnya mereka pergi muncak juga dan kami berempat tinggal di tenda untuk memasak. Tak terlalu lama mereka yang muncak pun turun saat makanan sudah siap. Dengan lahap kami manyantap makanan yang kami masak. Kemudian beres-beres dan turun gunung pukul 10:00.

Perjalanan turun cukup cepat dan melelahkan karena tipisnya persediaan air. Tepat sampai pemancar persediaan habis. Karena sudah cukup kelelahan kami pun memesan ojek untuk mengangkut kami ke portal depan pos satpam perkebunan. Beristirahat di pos satpam, kami membersihakan diri dan juga solat sambil menunggu angkot sewaan kami tiba dari Bandung. Ternyata perjalanan angkot dari Bandung terhambat macet sehingga baru tiba selepas Magrib. Tanpa basa-basi kami langsung berangkat pulang. Di tengah perjalanan pulang untuk mengantar Fahmi ke rumahnya tercetus ide untuk berendam air panas di kolam pemandian Darajat. Sebuah bonus yang sangat istimewa setelah berlelah-lelah kemudian berendam air panas. Dan bonus pun ditambah dengan santapan nasi padang hangat di akhir perjalana pulang menuju Bandung. (bersambung ke Episode Tiga)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar